Membalik tubuh, aku saat ini tengah membelakangi Hayam Wuruk. Dalam hati aku menggerutu sebal, kenapa Wangi tidak memberitahuku terlebih dahulu jika laki-laki itu hendak berendam juga di kolam ini? Jika tahu hal ini akan terjadi, maka aku tidak akan datang ke kolam pemandian keraton.
Melirik ke belakang, aku melihat jika Hayam Wuruk melangkah mendekat. Suara air yang bergerak membuat hatiku berdebar-debar. Sungguh, aku ingin kabur sekarang. Namun, kenapa kedua kaki terasa sangat sulit untuk digerakkan? Sepertinya kedua kakiku telah mengkhianati hatiku karena malah ingin menetap di kolam ini.
"Aku senang kita bertemu di sini, Kirana."
Menarik napas dalam, aku perlahan berbalik. Laki-laki itu telah berada di hadapanku. Kami berdua hanya berjarak satu meter. Fyuh, cukup membuatku sedikit tenang.
Setelah itu, aku kembali mengedarkan pandangan. Masih berusaha mencari keberadaan Wangi. Bisa jadi perempuan itu hanya pergi sebentar, lalu datang lagi.
Seakan tahu jika aku tengah mencari-cari seorang dayang yang selalu menemaniku, Hayam Wuruk berucap, "Dia kuminta pergi supaya kita bisa di sini ber-"
"Kenapa?" sahutku sedikit bingung. Aku takut dia berbuat macam-macam kepadaku. Bukan menuduh, hanya saja merasa waspada. Bagaimanapun juga, Hayam Wuruk adalah seorang laki-laki, sedangkan aku perempuan. Aku tidak akan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika kami berada di kolam pemandian ini berdua saja. Bagian terburuknya, bagaimana jika ada orang lain yang melihat? Mereka pasti akan berpikir yang tidak-tidak, dan memunculkan sebuah rumor yang mampu membuatku angkat kaki dari keraton ini.
"Supaya kita bisa berduaan di sini," katanya seraya tersenyum, membuat kedua matanya membentuk seperti bulan sabit yang begitu indah.
"Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" Itu adalah sebuah pertanyaan yang tak henti-hentinya terngiang di kepalaku.
"Aku tadi tidak sengaja melihatmu pergi bersama Wangi. Maka dari itu, aku mengikutimu."
Astaga! Apakah seorang Maharaja mempunyai banyak waktu luang hingga mau mengikuti orang biasa sepertiku?
"Seharusnya kita tidak berduaan seperti ini." Aku lalu berbalik, hendam mendekati tepi kolam pemandian yang ada di belakangku, berniat untuk menyudahi acara berendamku yang sepertinya gagal total.
"Kenapa?" Hayam Wuruk menahan lenganku. Laki-laki itu lantas mendekat. Tanpa diduga, dia memelukku dari belakang. Kepalanya ia letakkan di bahuku bagian kanan yang tidak tertutupi apapu. Hal itu sedikit membuatku... argh...entahlah. Aku tidak bisa mengatakannya.
"Aku tidak ingin ada yang salah paham." napasku tercekat. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat seperti baru saja berlari ketika merasakan kedua tangan Hayam Wuruk melingkar di perutku semakin erat. Tubuhku seketika meremang dan berubah menjadi kaku.
"Aku mencintaimu, Kirana " bisiknya tepat di dekat telinga kananku.
Aku hanya menggigit bibir. Bagaimana ini?
Tak ingin terjadi hal yang lebih mengejutkan dari sekadar dipeluknya, aku melepas tangannya yang melingkar di perutku. Aku kemudian menghadapkan diri ke arahnya. "Tapi aku belum mencintaimu." Untungnya, aku tidak gugup saat mengatakannya sehingga Hayam Wuruk tidak akan tahu bahwa aku tengah berbohong.
"Belum 'kan? Aku tunggu kau mencintaiku."
Dengan segera aku menggeleng. "Sepertinya aku tidak akan mencintaimu," kataku yakin. Mungkin tugasku selanjutnya adalah membuat Hayam Wuruk patah semangat dan tidak mencintaiku lagi meskipun aku sangat tidak rela. Jujur, aku sangat mencintainya. Akan tetapi, aku tidak akan mengakui hal tersebut karena aku tahu diri, aku bukan siapa-siapa di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Sri Rajasanagara
Historical FictionDewi Kirana Candramaya, namanya. Gadis pindahan dari Jakarta yang sama sekali tidak menyukai pelajaran Sejarah, tiba-tiba muncul di masa kerajaan agraris terbesar di Nusantara, Kerajaan Majapahit. Kirana tidak percaya dengan adanya cinta. Namun, kep...