16. | Majapahit - Berhenti Mencintai

11.5K 1.5K 17
                                    

"Apakah aku pantas menjadi permaisuri Maharaja, Wangi?"

"Tentu, Ndoro. Ndoro sangat pantas."

Aku tentu tidak percaya begitu saja. Bisa jadi 'kan Wangi menjawab hal tersebut karena tidak ingin aku sakit hati.

Dalam hati aku mencoba mencari-cari kelebihan yang kupunya sehingga aku bisa merasa cukup percaya diri dan pantas jika suatu saat nanti aku menjadi permaisuri sang Maharaja. Akan tetapi, setelah diingat-ingat, aku tidak memiliki kelebihan apapun, yang ada aku malah memiliki banyak kekurangan.

"Bagaimana dengan Nertaja? Apa dia juga sibuk?"

"Dewi!"

Aku menoleh ke kanan. Panjang umur lah si Nertaja itu. Baru saja keberadaannya kutanyakan kini ia muncul.

"Kau tidak sibuk?"

Nertaja menggeleng. "Tidak. Segala persiapan sudah selesai, hanya tinggal sedikit, cukup para dayang yang melakukannya."

Aku mengangguk mengerti.

"Kenapa kau seperti itu?" Nertaja tiba-tiba menatapku dengan sorot mata kecewa. Aku yang tidak tahu maksudnya pun mengernyitkan dahi.

"Kenapa kau berpura-pura tidak cinta kepada Kakanda? Padahal, kau juga mencintainya. Kau tahu, Kakanda terlihat sangat sedih tadi malam. Pagi ini juga begitu."

Aku menunduk, kembali merasa bersalah. "Tetapi kami tadi malam bertemu dan dia terlihat baik-baik saja," balasku.

"Dewi, apakah mungkin seorang laki-laki mau memperlihatkan kesedihannya kepada perempuan yang dicintainya? Tentu mereka tidak akan memperlihatkannya supaya tidak terlihat lemah. Laki-laki itu harus kuat. Benar, bukan?"

Aku mengangguk. Benar juga kata Nertaja. Kenapa aku tidak menyadarinya?

"Dia sibuk saat ini?"

Nertaja mengangguk yang membutku menghela napas berat. "Sangat sibuk. Kau ingin berbicara dengannya?"

"Sepertinya," jawabku ragu. "Kakandamu juga ingin bicara denganku tadi malam, tapi tidak jadi."

"Kalau begitu, temui Kakandaku sekarang. Mungkin ia tak keberatan."

"Benarkah?"

Nertaja mengangguk anggun. "Ia ada di Pendhopo Agung."

"Di Pendhopo Agung?" ulangku yang merasa tidak yakin. Di sana 'kan yang diperbolehkan masuk hanya orang-orang penting dan tetua kerajaan saja. "Apakah tidak apa-apa jika aku pergi ke sana?"

"Iya, selagi sudah selesai. Kalau belum, kau bisa menunggunya."

"Baiklah, aku akan menemuinya."

Nertaja hanya tersenyum.

Aku lantas pergi ke Pendhopo Agung untuk menemui Hayam Wuruk. Selama perjalanan aku merasa bingung, apa yang akan terjadi jika aku menerima cintanya? Apakah aku berdosa? Apakah akan terjadi hal yang besar, misalnya terkena bencana? Tapi, menurutku ini adalah takdir. Ya, aku dan Hayam Wuruk ditakdirkan bersama. Untuk apa kami dipertemukan jika bukan karena takdir? Namun tetap saja, aku masih merasa ragu dan takut. Aku takut melakukan kesalahan yang besar.

Bagaimana jadinya jika aku menikah dengan Hayam Wuruk? Apakah catatan sejarah juga akan berubah?

Menggelengkan kepala, aku mencoba menepis pemikiran tersebut. Tanpa disangka, ternyata aku telah sampai di depan Pendhopo Agung.

Kedua mataku langsung menangkap sosok Hayam Wuruk yang sekarang ini tengah duduk di singgasananya. Di sekitar laki-laki berpakaian bangsawan itu, ada beberapa tetua kerajaan. Jika dilihat dari raut mereka semua yang tampak sangat serius, seperti itu adalah rapat penting.

Cinta Untuk Sri RajasanagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang