07 | Majapahit - Dharmadyaksa Kasogatan Majapahit

21.9K 2.1K 40
                                    

Aku menghela napas, kembali merasa bosan. Daripada kembali ke kamar, lebih baik aku jalan-jalan di luar keraton. Rasanya sungguh malu jika melewati para pengawal keraton.


Aku mengedarkan pandangan. Tidak jauh dari tempatku berada, terdapat sebuah kuil dan biara. Aku melipat dahi. Kukira di Majapahit hanya ada satu agama.

Selanjutnya, terlihat seorang laki-laki keluar dari sebuah biara. Ia menatapku sekilas, sebelum akhirnya berlalu begitu saja.

Keningku seketika mengernyit. Siapa dia? Kenapa wajahnya sama sekali tidak asing bagiku?

Dengan langkah pelan, aku mengikutinya. Aku ingin melihat wajahnya lebih jelas lagi. Wajah itu benar-benar cukup familiar, tetapi aku tak ingat dia persis siapa.

Aku lalu terkesiap tatkala mendapati langkah laki-laki itu terhenti. Langsung saja aku berbalik. Gawat. Ia pasti telah sadar jika ada yang mengikutinya sedari tadi.

"Sepertinya ada yang ingin kau sampaikan. Katakan saja." Lelaki itu berucap dengan suara yang cukup berwibawa, tak terdengar menyeramkan sama sekali.

Dengan ragu aku berbalik. Dan benar saja, laki-laki itu berdiri hanya beberapa meter dariku. "Ti-tidak ada. Maaf telah mengikutimu." Aku menunduk. Sangat merasa malu.

Ia malah tersenyum. "Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Apakah kau tersesat di sini? Tetapi, itu mustahil karena bangunan istana tidak terlalu rumit." Ia malah tertawa pelan.

"Saya memang orang baru di sini," balasku.

"Jika ada yang ingin kau tanyakan, katakan saja. Aku akan menjawabnya," balasnya yang kemudian menunduk, lantas berbalik.

Aku segera menyusulnya hingga kami berjalan bersisian. Tinggiku kini hanya sebatas dagunya. "Maaf, bolehkah aku bertanya sesuatu?"

Ia menoleh, tetapi kedua kakinya masih setia melangkah. "Tentu saja."

"Ada berapa kepercayaan di sini?" tanyaku sopan seraya menyingkirkan anak rambut yang sejak tadi tak henti-henti menutupi kening akibat tertiup angin.

"Ada tiga kepercayaan di Majapahit. Siwa, Budha, dan Brahma. Biasa disebut Tripaksa."

Aku mengangguk mengerti, lantas mengamati biara dan kuil yang baru saja kami lewati. Tak kusangka agama Siwa dan Budha hidup berdampingan di masa ini.

Detik berikutnya, aku kembali menatapnya. Aku masih merasa sangat penasaran siapa dia.

Laki-laki di sampingku menoleh. "Saya adalah Dharmmadhyaksa Kasogatan di keraton Majapahit, Nadendra." Ia menunduk sekilas, memperkenalkan diri dengan begitu sopan.

Aku mengangguk paham dengan mukut yang terbuka mengeluarkan suara, "oh...".

Karena tidak mau mengganggunya, aku pun pamit pergi setelah berbincang sebentar dengan laki-laki yang bernama Nadendra tadi.

Aku lalu melirik balai Manguntur, tempat pertemuan Hayam Wuruk dengan Mahapatih Mada dan beberapa orang lainnya. Sepertinya pertemuan itu akan berlangsung lama.


***

"Sendirian lagi?"

Eh. Aku menoleh ke belakang. Kehadiran seseorang yang ada di belakangku membuatku sungguh terkejut, terlebih lagi jika itu adalah Hayam Wuruk.

Cinta Untuk Sri RajasanagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang