Jam berapa kalian baca cerita ini?
***
"AKU ingin kembali ke Jakarta." Adalah kalimat yang selalu kuucapkan di dalam hati. Andai saja papa dan mama membiarkanku tinggal di sana sendirian, aku akan senang sekali. Selain bisa bebas, aku juga tidak perlu mengakrabkan diri dengan teman-teman baruku yang ada di Kecamatan Trowulan. Tentu rasa canggung masih setia menyelimuti ketika berbaur dengan teman-teman sekelas.
Padahal, aku sudah terbiasa tinggal sendiri karena papa dan mama jarang di rumah. Mereka berdua disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing. papaku pebisnis sedangkan mamaku seorang arkeolog. Jika dipikir-pikir, itu sangat lucu. Mamaku adalah seorang arkeolog yang sangat menyukai ha-hal yang berbau sejarah, sedangkan aku kebalikannya.
Dasar aneh.
Sudah seminggu ini aku tinggal di rumah Eyang yang ada di Mojokerto. Di daerah ini sangat jauh dari hiruk pikuk kota yang ramai dan bising. Namun, tetap saja, aku lebih suka tinggal di Jakarta daripada di Mojokerto karena tidak bisa hang out dengan teman-temanku.
Tak banyak yang bisa kulakukan di sini. Sepulang sekolah, aku lebih memilih bermain ponsel ketimbang keluar dari rumah Eyang. Jika merasa bosan, maka aku hanya akan memandangi Eyang Putri yang membatik di pendopo.
Aku sama sekali tidak memiliki niatan untuk belajar membatik. Aku berada di sana hanya untuk mengusir rasa bosan. Selain itu, aroma malam yang dilelehkan bagai candu bagiku. Sungguh sedap meskipun sedikit menusuk hidung.
"Kamu tidak mau mencoba, nduk?" Eyang Putri menghentikkan gerakan tangannya yang memegang canting tatkala menyadari jika aku sedari tadi hanya memandanginya. Mungkin aku terlihat kurang kerjaan sekali.
"Nggak mau," jawabku dengan nada sedikit ketus. Aku tidak ingin malam panas itu mengenai tanganku dan berakhir meninggalkan luka bakar di sana. Dengan kulitku yang berwarna putih, tentu saja luka bakar akan terlihat begitu jelas.
"Kita harus melestarikan budaya, salah satunya batik ini. Kamu tidak mau melestarikannya, Nduk?" Eyang menunjuk hasil batikannya dengan dagu. Kuakui, corak batik itu indah sekali. Ada sebuah simbol yang terdiri dari sinar matahari dan patung. Aku tidak tahu arti dari semua simbol yang terdapat di kain mori tersebut.
"Kan udah ada Eyang yang melestarikan. Aku enggak usah," balasku enteng seraya menyandarkan punggung di salah satu pilar pendopo. Kemudian, perhatianku teralihkan ke arah Eyang Kakung yang sibuk memberi makan ayam jagonya kesayangannya.
Di bawah Pohon Belimbing yang ada di samping kanan pendopo, terdapat sebuah kandang ayam yang terbuat dari kayu. Kandang tersebut berukuran lumayan besar sehingga bisa membuat ayam yang ada di dalamnya bisa bergerak sedikit leluasa.
"Dew-"
"Ana, Eyang. Paggil aku Ana," Aku segera memotong ucapan Eyang Putri. Entah kenapa, aku tidak suka dengan panggilan "Dewi". Setidaknya panggilan "Ana" terdengar lebih modern.
Sebenarnya panggilan "Ana" berasal dari nama tengahku, yakni "Kirana".
"Bisakah kamu nanti sore antar kain batik itu ke rumah Bu Lurah? Kaki Eyang sudah tidak tahan untuk berjalan sampai ke sana, Nduk." Eyang Putri menunjuk tumpukan kain batik bercorak flora yang sudah terlipat rapi di dekat gawangan. Jika dihitung, sekitar ada tujuh hingga delapan kain batik.
Mau tidak mau, aku mengangguk. Lagi pula, rumah Bu Lurah juga tidak terlalu jauh dari sini.
"Nduk, kalau kamu bosan, nanti malam pergi sama Eyang Kakung saja." Eyang Kakung kini menoleh usai meletakkan mangkuk besar yang berisikan makanan ayam jago kesayangannya ke atas kandang.
Mendengar ajakan dari Eyang Kakung membuat kedua mataku berbinar. Apakah itu artinya nanti kami akan jalan-jalan? Pasti seru sekali. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali aku pergi jalan-jalan di Mojokerto bersama Eyang Kakung.
"Kemana, Eyang?" tanyaku antusias.
"Nonton tari Topeng, di balai desa," kata Eyang kakung yang langsung membuatku mengerucutkan bibir. Menonton tari topeng? Itu pasti akan sangat membosankan. Aku sama sekali tidak tertarik untuk ikut.
***
PUKUL empat sore, aku sudah bersiap untuk mengantar beberapa kain batik yang tertumpuk di pinggir pendopo rumah. Dengan mengenakan celana kulot panjang berwarna hitam dan kaus rajut putih berlengan pendek yang ukurannya pas di tubuh, aku mulai membawa setumpuk kain tersebut.
Hap! Kain batik yang berjumlah delapan itu berhasil kubawa. Ternyata cukup berat. Napasku bahkan sudah ngos-ngosan. Aku tidak bisa membayangkan seberapa capeknya Eyang putri membawa kain-kain tersebut sendirian.
Menarik napas dalam-dalam, aku mulai melangkahkan kaki meninggalkan halaman rumah eyang yang cukup luas.
Setelah mengantarkan kain batik, aku berjalan-jalan di dukuh keraton sebentar. Suasana sore seperti ini sangat menyenangkan dihabiskan untuk berjalan-jalan. Karena sinar matahari sore yang sangat mendukung, yakni tak terlalu menyengat sehingga aku bisa betah berada di luar rumah Eyang.
Di tengah jalan, kedua mataku tak sengaja tertuju ke sebuah bangunan candi yang tidak kuketahui apa namanya. Aku malah baru tahu jika di Mojokerto terdapat candi.
Dari sekian banyak candi yang ada di Indonesia, yang kuketahui hanyalah candi Borobudur. Itu pun aku tidak tahu persis di mana letaknya—karena aku belum pernah ke Magelang— meskipun di semua atlas, candi Buddha terbesar di Indonesia tersebut pernah pmasuk ke dalam daftar tujuh keajaiban di dunia. Namun, sayangnya sekarang sudah tergeser.
Di pelataran candi tersebut, terdapat banyak wisatawan lokal yang sedang mengambil gambar dan anak-anak kecil yang asyik berlarian ke sana kemari.
Sepertinya menyenangkan.
Aku kemudian melangkahkan kedua kakiku menuju bangunan yang terbuat dari batu-bata merah yang tingginya kurang lebih enam belas meter itu. "Gapura Bajang Ratu," gumamku saat melihat papan tulisan yang ada di depan candi.
Aneh. Aku tertawa di dalam hati. Sejak kapan aku tertarik mengunjungi tempat seperti ini?
Menggelengkan kepala, aku berjalan mengelilingi Candi Bajang Ratu seraya meraba relief yang terukir indah di batu-bata yang mulai rapuh itu, hingga pada akhirnya ada suara seseorang yang mengejutkanku.
"Sangat indah, bukan?"
***

Jangan lupa tinggalkan jejak. Sampai jumpa di chapter berikutnya❤
Rabu, 05 Mei 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Sri Rajasanagara
Historical FictionDewi Kirana Candramaya, namanya. Gadis pindahan dari Jakarta yang sama sekali tidak menyukai pelajaran Sejarah, tiba-tiba muncul di masa kerajaan agraris terbesar di Nusantara, Kerajaan Majapahit. Kirana tidak percaya dengan adanya cinta. Namun, kep...