Aku berbalik dan....
"Argh!"
Aku terjatuh. Tanpa kusadari, kakiku tadi tersandung batu yang lumayan besar. Tepat berada di belakangku.
Aku merintih kesakitan. Bahkan ujung kaki kananku telah memerah.
"Ndoro tidak apa-apa?" tanya Wangi yang jongkok di di sampingku.
Aku hanya meringis sambil menggeleng." Sakit, Wangi."
"Kirana, kamu tak apa?"
Aku tertegun melihat kehadiran seseorang. Laki-laki itu duduk bertongkatkan lutut, tepat di depanku.
Aku langsung mengedipkan mata berulangkali.
"Aku tidak apa-apa," balasku sambari tersenyum tipis.
Aku langsung menutupi ujung jari kakiku yang kemerahan karena Hayam Wuruk melihatnya.
"Biar kugendong. Aku tahu, pasti rasanya sakit-"
"Tidak perlu. Aku dapat berjalan sendiri," ucapku yang dengan berani memutus kalimatnya, tanpa melihat wajahnya.
"Biar kubantu," ucap Hayam Wuruk sambil mengulurkan tangan kanannya.
Aku tak menghiraukan mestinya. Aku berusaha berdiri. Aku menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit.
Belum sempat berdiri, aku kembali terduduk di tanah. Rasanya sangat nyeri.
"Sudah kubilang, biarkan aku membantumu, Kirana." Hayam Wuruk berucap tegas. Tanpa mendapat persetujuan dariku, ia langsung membopong tubuhku.
Aku pun mengalungkan tangan ke lehernya, mencegah agar tidak terjatuh.
"A-aku bisa berjalan sendiri-" ucapanku terputus.
"Sudah kubilang, kamu menjadi pembohong akhir-akhir ini, Kirana," ucap Hayam Wuruk yang mulai berjalan menuju keraton.
Aku yang mendengar kalimatnya hanya menunduk. Aku tak berhak marah dan sakit hati karena memang di sini aku yang salah. Aku adalah seorang pembohong. Anehnya, aku yang melakukan kebohongan, hatiku malah terasa sakit.
"Aku cemburu...." lirihku kepada Hayam Wuruk. Melihat wajahnya dari jarak yang sangat dekat membuat hatiku tenang dan berdebar.
Hayam Wuruk yang mendengar ucapanku, seketika berhenti melangkah. Ia menoleh ke arahku. Kami saling menatap dalam waktu yang cukup lama yang akhirnya, Hayam Wuruk lebih dulu memutuskan kontak mata. Aku tak tahu, ekspresi apa yang ia tunjukkan. Yang kulihat, ia menatapku sendu. Setelah itu, ia kembali melangkahkan kaki.
Begini saja aku sudah sangat senang. Digendong oleh maharaja Majapahit.
Aku terus memandangi wajahnya, sebelum suatu saat aku tak bisa melihat wajahnya lagi.
Tanpa sadar kami sudah sampai di kamarku. Hayam Wuruk meletakkaan tubuhku di kasur dengan penuh hati-hati.
"Istirahatlah," ucap Hayam Wuruk dengan nada dingin, tidak seperti sebelum-sebelumnya.
Aku tersentak kala Hayam Wuruk berbalik. Sepetrinya ia akan pergi.
Langsung saja kutahan lengannya. Ia tak bisa pergi begitu saja.
"Tunggu. Aku ingin berbicara denganmu," ucapku.
Hayam Wuruk tak merespon. Ia masih berdiri membelakangiku. Sementara aku masih berharap ia akan berbalik dan mengangguk, menerima ajakanku untuk mengobrol.
Bahuku merosot saat Hayam Wuruk melepas cekalan tanganku yang membuatku menunduk. Aku sungguh kecewa dibuatnya.
"Ingin membicarakan hal apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Sri Rajasanagara
Ficción históricaDewi Kirana Candramaya, namanya. Gadis pindahan dari Jakarta yang sama sekali tidak menyukai pelajaran Sejarah, tiba-tiba muncul di masa kerajaan agraris terbesar di Nusantara, Kerajaan Majapahit. Kirana tidak percaya dengan adanya cinta. Namun, kep...