Aku terbangun kala sore hari. Aku tak mendapati Hayam Wuruk di samping. Mungkin ia telah pergi.
Aku merubah posisiku menjadi duduk. Sinar matahari sore menyinariku dari jendela kamar.
Kira-kira, Hayam Wuruk ada di mana?
Aku memutuskan beranjak dari kasur untuk pergi ke kamar mandi, hendak membersihkan diri.
***
Tak ada hal lain yang bisa kulakukan. Aku memutuskan untuk menikmati udara di taman. Duduk di kursi kayu yang berada di bawah pohon tabebuya. Aku sengaja ke taman sendirian tanpa ditemani Wangi. Aku merasa tak enak kepadanya. Aku harus berlatih mandiri.
Aku memejamkan mata sambil menghirup udara segar. Aku tak mau membuang kesempatan ini. Udara di sini sangat segar berbeda dengan udara di Jakarta yang sudah tercemar polusi.
Saat aku membuka mata, pandanganku tak sengaja mengarah kepada seorang gadis kecil yang membawa burung merpati. Kulihat ia mengelus burung merpati itu dengan penuh kasih sayang.
Aku tersenyum kepadanya. Gadis itu mengenakan pakaian yang sama dengan dayang-dayang lain.
"Hei, kemarilah!" panggilku.
Gadis kecil itu menoleh, lalu berlari ke arahku.
"Selamat pagi, Ndoro," sapanya saat berada di depanku. Seperti orang-orang sebelumnya, gadis itu menunduk.
"Siapa namamu?" tanyaku sambil mengelus rambutnya yang digerai.
"Nama hamba Sekar, Ndoro."
Aku mengangguk. Nama yang bagus. Sekar dalam bahasa jawa artinya bunga. Sangat cocok dengan gadis kecil di depanku ini. Sama-sama cantik.
Aku menepuk tempat duduk yang kosong di sampingku, memintanya untuk duduk." Duduklah."
Untung saja gadis kecil itu tidak menolak. Ia langsung duduk di sampingku.
"Itu milikmu?" tanyaku sambari menunjuk burung merpati yang berada di pangkuannya.
Sekar mengangguk.
"Namanya Sapta, Ndoro."
"Kamu menamainya? Pasti merpati ini sangat berharga untukmu." Aku ikut mengelus hewan itu.
"Sekar tidak pernah melihat Ndoro, sebelumnya."
"Eh." Aku menggaruk rambutku yang tak gatal, bingung harus menjawab apa." Aku memang baru tinggal di sini. Oh ya, kamu tinggal di mana? Di keraton sini 'kah?"
Sekar mengangguk." Hamba tinggal di keraton, Ndoro bersama ibu yang menjadi dayang."
Aku mengangguk mengerti.
Sekar tiba-tiba menunduk sambari mengelus merpatinya.
"Ada apa?" tanyaku bingung. Gadis itu menjadi cemberut, sangat berbeda saat awal bertemu tadi.
"Sekar sedih."
"Kok sedih? Kenapa?"
"Sekar harus melepaskan Sapta."
Aku mengernyit." Kalau gitu, jangan dilepasin Sapta-nya. Biar Sekar ngerawat Sapta terus."
Sekar menggeleng. Lagi-lagi aku dibuat tidak mengerti oleh maksudnya.
"Kata ibu, Sekar harus ngelepasin Sapta. Ibu bilang, Sapta akan lebih bahagia jika terbang bersama teman-temannya. Sekar nggak mau ngelepasin Sapta."
Kalimat Sekar membuatku tertegun. Apakah aku harus melepaskannya? Atau malah menahannya?
"Pilihan yang terbaik adalah melepaskannya, Sekar. Mungkin itu yang terbaik. Kita tidak tahu jika nantinya, kita mendapat pengganti yang lebih baik. Ikhlaskan saja. " sebenarnya kalimat itu aku tujukan pada diriku sendiri. Aku sendiri ragu, apakah aku bisa melakukan hal itu apa tidak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Sri Rajasanagara
Historical FictionDewi Kirana Candramaya, namanya. Gadis pindahan dari Jakarta yang sama sekali tidak menyukai pelajaran Sejarah, tiba-tiba muncul di masa kerajaan agraris terbesar di Nusantara, Kerajaan Majapahit. Kirana tidak percaya dengan adanya cinta. Namun, kep...