"Kita mau ke mana?" Aku mengerutkan kening di saat Hayam Wuruk berjalan mendahuluiku keluar dari gapura keraton.
Tanpa menghentikkan langkahnya, Hayam Wuruk menjawab, "Ke danau."
"Danau? Untuk apa kita pergi ke sana?"
"Menikmati pemandangannya. Tadi kau bilang merasa sangat bosan di sini."
Karena apa yang dikatakan oleh Hayam Wuruk tidaklah salah, akhirnya aku memilih untuk menurut.
Di sepanjang jalan luar keraton, kami berdua sama-sama diam. Entah kenapa, rasanya begitu canggung. Aku tidak tahan dengan situasi seperti ini. Ingin aku mencari topik pembicaraan, tetapi sayangnya tak kunjung dapat. Tiba-tiba kepalaku serasa blank. Sangat kosong.
Ah, aku jadi ingat dengan pernyataan dari Nertaja tadi. Bagaimana jika aku menanyakannya kepada Hayam Wuruk? Apakah ia akan menjawab jujur?
"Tadi malam apa kau mengkhawatirkanku, Hayam Wuruk?"
Tidak ada balasan. Sungguh memalukan. Seharusnya aku diam saja, tidak perlu menanyakan hal itu. Ck, aku memang kepede-an.
"Nertaja bilang, kau sangat mengkhawatirkanku," tambahku agar Hayam Wuruk mau menjawab jujur pertanyaanku yang sebelumnya.
Hayam Wuruk berhenti melangkah. Laki-laki itu lalu menoleh ke arahku yang saat ini ikut berhenti setengah meter darinya. "Ya, itu benar. Aku mengkhawatirkanmu."
"Khawatir karena aku temanmu ya?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Kirana."
"Ya?"
"Sepertinya aku menyukaimu."
Bibirku terkatup rapat. Sepertinya ada yang salah dengan telingaku. Tidak mungkin 'kan jika Hayam Wuruk baru saja mengatakan bahwa dia menyukaiku. Memangnya apa kelebihan yang kupunya? Tidak ada.
"Me-menyukaiku?" Langsung saja aku tersenyum simpul. "Kau menyukaiku sebagai teman," imbuhku yang kemudian berjalan melewati Hayam Wuruk. Dalam hati aku menggerutu sebal, di mana letak danaunya? Kenapa tidak sampai-sampai?
"Tidak, aku menyukaimu sebagai seorang laki-laki, bukan sebagai teman."
Hayam Wuruk berhasil membuat kedua kakiku berhenti melangkah. Tubuhku sedikit menegang, terlebih lagi ketika laki-laki itu berdiri di depanku dan menggenggam kedua tanganku erat. "Menikahlah denganku, Kirana."
Menikah? Kenapa menjadi seperti ini?
Jujur saja, Hayam Wuruk merupakan laki-laki yang perhatian. Aku juga hampir menyukainya akhir-akhir ini. Namun, mengingat ketidakmungkinan yang ada, aku memilih memendam rasa itu. Bukan, lebih tepatnya mencoba menghilangkan rasa sukaku terhadap Hayam Wuruk karena tidak ingin sakit hati suatu hari nanti. Tentu aku sangat ingat dengan apa yang laki-laki itu katakan di hari pertama kami bertemu: kasta sudra. Tentu semua orang takkan setuju apabila seorang maharaja yang begitu agung bersanding dengan rakyat biasa sepertiku.
"Kau pasti sedang bercanda 'kan? Kau pasti tengah berlatih untuk melamar puteri kerajaan tetangga ya 'kan?" Aku tertawa renyah, memperlihatkan Hayam Wuruk bahwa aku tidak terbawa oleh suasana dan menganggap candaannya tadi benar-benar mengajakku menikah.
"Aku serius, Kirana. Jadilah permaisuriku."
Tawaku perlahan lenyap. Segera aku melepas kedua tanganku dari genggamannya. "Aku bukan puteri bangsawan, Hayam Wuruk. Kita berbeda, jika kamu lupa akan hal itu. Kau adalah orang terpandang di negeri ini, sedangkan aku? Asal-usulku saja tidak jelas. Tentu keluarga serta rakyatmu akan sangat menentangnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Sri Rajasanagara
Historical FictionDewi Kirana Candramaya, namanya. Gadis pindahan dari Jakarta yang sama sekali tidak menyukai pelajaran Sejarah, tiba-tiba muncul di masa kerajaan agraris terbesar di Nusantara, Kerajaan Majapahit. Kirana tidak percaya dengan adanya cinta. Namun, kep...