08. | Majapahit - Sangat Perhatian

15.7K 2.2K 20
                                    

Matahari telah terbenam. Aku sudah kembali ke kamar bersama Wangi. Perempuan itu sungguh setia, menemaniku kapan dan di mana saja. Padahal, aku bukan siapa-siapa di sini. Hanya orang asing yang menumpang tidur.

Setengahnya aku melamun di depan jendela kayu kamar yang terbuka, menampilkan keindahan taman bunga yang dipenuhi oleh barisan tanaman bunga melati, suara ketukan pintu menyadarkanku. Tak lama kemudian, Wangi muncul dari balik pintu.

Baru perempuan itu hendak masuk, kedatangan seorang dayang menghentikan langkahnya. Dayang tersebut mendekat, membisikkan sesuatu kepada Wangi, membuatku mengernyit. Entah apa yang dia bisikkan, aku tidak tahu karena jarak kami lumayan berjauhan.

Setelah selesai berbicara, Wangi mengangguk, lantas seorang dayang berkemben cokelat sedikit gelap itu pamit undur diri. Kini, giliran Wangi yang berjalan menghampiriku. "Ndoro diminta untuk menghadiri makan malam bersama anggota keluarga kerajaan," ucapnya sopan yang membuat kedua mataku terbelalak.

Apa? Makan malam? Bersama anggota kerajaan? No, no, no, no!

Menelan saliva susah payah, aku mendadak gelisah. Jujur saja, diriku ini tidak tahan berada di sekitar tokoh-tokoh sejarah, rasanya ... sangat aneh. Ada banyak ketakutan yang terus berdatangan. Seakan jika melakukan kesalahan sedikit saja, maka bersiaplah untuk mendapatkan hukuman yang menyakitkan.

"Ndoro?"

"Eh." Lamunanku kembali terbuyarkan. "Sepertinya aku tidak bisa bergabung, Wangi."

"Memangnya ada apa, Ndoro?"

Ck, ternyata Wangi tipe orang yang banyak bertanya.

Memegangi pelipis kananku, aku berkata, "Kepalaku sedikit pusing. Bilang saja kalau aku sakit dan butuh istirahat." Aku bohong. Tentu saja. Aku terpaksa melakukan itu karena aku tidak ingin mendapatkan banyak pertanyaan nantinya. Tak apalah jika malam ini aku tidak makan malam, yang terpenting hidupku akan aman di sini.

Usai aku berbicara tadi, Wangi tak bertanya lagi. Perempuan itu menunduk, lantas pergi keluar dari kamar. Aku yakin, dia pasti hendak menyampaikan pesanku.

Sepeningal Wangi, aku duduk di tepi tempat tidur. Mengusap perutku yang rata, aku berbisik, "Tenang, cuma malam ini. Besok kau akan makan."

Karena tak ada kegiatan yang bisa kukerjakan dalam kondisi perut yang lapar, aku memutuskan untuk merebahkan diri di kasur. Ternyata kasurnya cukup nyaman. Untuk di masa Majapahit, adanya kasur empuk ini sungguh sesuatu yang mewah. Mungkin hanya dimiliki oleh para pejabat dan keluarga kerajaan saja.

Menarik selimut hingga menutupi dada, aku memeluk tubuh erat karena tak ada guling yang bisa kupeluk. Saat ini, aku hanya memakai kemben dan kain jarik. Dengan tubuh yang hanya terbalut dua kain tersebut tentu akan membuatku mudah masuk angin. Ini adalah pertama kalinya aku tidur tanpa memakai kaus. Sangat tidak nyaman.

Tak butuh waktu yang lama, kedua mataku langsung terpejam. Aku mulai berpetualang di dalam mimpi dan berharap saat bangun nanti, aku sudah kembali ke dunia di mana diriku berasal. Hanya lima belas menit aku bisa tidur dengan nyaman karena setelahnya perutku terus keroncongan. Minta diisi, heh?

Mengubah posisi tidur menjadi miring ke kiri, aku mencoba memejamkan mata lagi. Namun, tidak bisa tertidur. Untung saja, aku tidak mempunyai penyakit maag. Jadi, aku tidak akan merasa perut bagian kiri atasku nyeri saat lapar.

"Bagaimana ini?" Aku mengubah posisiku menjadi duduk. Aneh, baru kali ini aku tidak tahan dengan rasa lapar. Padahal, sedari dulu aku sering melewatkan makan malam.

Mengembuskan napas berat, aku beranjak dari tempat tidur. Lalu aku membuka pintu kamar yang terbuat dari kayu dengan gerakan pelan, tapi tetap saja, sehalus apapun aku melakukannya, suara deritan pintu masih terdengar, membuatku meringis. Kemudian, kepalaku menengok ke kanan dan ke kiri. Memastikan jika tidak ada penjaga yang berada di sepanjang lorong kamarku.

Cinta Untuk Sri RajasanagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang