05. | Majapahit - Baginda Rajasanagara

19.9K 2.7K 236
                                    

Mencoba bersabar, aku berbalik. Masih menampilkan senyuman. "Tidak perlu, Bagin-" ucapku yang langsung aku ralat. "Tidak perlu, Hayam Wuruk."

"Tidak masalah. Itu sebagai balas budiku karena kau telah menyelamatkanku. Kita naik kereta pedati supaya lebih cepat, bagaimana?" tawar Hayam Wuruk seraya menunjuk kereta berkuda yang ada di jalan setapak persawahan. Kereta pedati itu terlihat cukup mewah, tetapi juga tampak klasik. Sama persis dengan kereta pedati yang biasanya dipajang di museum.

Karena tak mempunyai alasan lagi, aku pun menurut, menerima tawarannya. Badanku menjadi panas dingin akibat gugup.

Terpaksa, aku mengikuti langkahnya dengan rasa gelisah. Dalam hati aku terkagum-kagum. Ternyata, Hayam wuruk memiliki postur tubuh yang atletis. Punggungnya terlihat sangat kokoh dan tegap. Sebelum bertemu dengannya, aku berpikiran bahwa dia sama sekali tidak tampan. Namun, aku salah besar. Dia memiliki ketampanan yang luar biasa! Semua orang akan berdecak kagum dan langsung terbengong hanya karena melihat parasnya yang sangat menawan.

Ah, ternyata orang zaman dahulu ada juga yang sangat tampan.


***

Sesampainya di dekat kereta pedati, Hayam Wuruk memintaku untuk naik terlebih dahulu. Walaupun merasa tak nyaman, terpaksa aku menurutinya. Aku kemudian terdiam saat menyadari bahwa kereta pedati itu lumayan tinggi yang membuatku ragu untuk menaikinya.

Tanpa diduga, Hayam Wuruk menjulurkan tangannya ke arahku. Tak dapat menolak, aku pun menerima juluran tangan tersebut. Seperkian detik, dia menarik tubuhku hingga aku bisa berada di atas kereta pedati dengan mudahnya.

Di perjalanan, kami hanya saling diam. Suasana berubah menjadi canggung. Hanya terdengar suara tapakan kaki kuda yang bersentuhan dengan jalanan kecil yang ada di tengah-tengah persawahan.

Sebenarnya aku salah satu orang yang tidak tahan dengan situasi seperti ini. Mulutku rasanya gatal, ingin sekali mengeluarkan kata-kata. Namun, mengobrol dengan seorang raja bukanlah sesuatu yang wajar, sehingga aku memutuskan untuk memandangi persawahan yang dilewati oleh kereta pedati ini seraya menggigit bibir agar tertutup rapat-rapat.

Melihat banyaknya sawah yang telah dipenuhi oleh tanaman padi yang masih hijau, membuatku teringat dengan salah satu materi yang ada di pelajaran Sejarah Indonesia-ku. Daerah di sini memang sangat subur. Di kiri-kanan jalan hanya ada persawahan. Wajar saja jika Kerajaan Majapahit disebut sebagai negara agraris.

Setengahnya mengamati pemandangan di bagian kiri jalan, aku terkesiap kala kereta pedati yang kutumpangi berhenti di sebuah perkampungan. Masyarakat yang tadinya beraktifitas mendadak berhenti. Semuanya menoleh ke arah kereta berkuda ini. Mungkin bertanya-tanya siapa yang datang.

Detik berikutnya, semua orang tampak terkejut dan buru-buru menunduk seraya mundur. Setelah itu, dengan segera mereka berlutut.

Tiba-tiba aku merasa "wah", begitu dihormatinya raja pada zaman dahulu. Berbeda dengan zamanku, yang mana semua orang malah berdesakan mendekat serta berebutan meminta foto dengan sang pemimpin negeri.

Rasanya aku ingin menangis melihat perbedaan ini...

"Turunlah," kata Hayam Wuruk yang sekarang ini telah turun dari kereta pedati.

Aku mengangguk ragu. Perlahan, aku menapakkan kaki ke tanah dengan tangan kanan yang dipegangi oleh Hayam Wuruk.

"Hamba sudah sampai. Terima kasih atas tumpangannya," ujarku seraya tersenyum.

Cinta Untuk Sri RajasanagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang