06. | Majapahit - Dyah Nertaja

18.9K 2.4K 68
                                    

APAKAH ini ibu kota Majapahit?

Aku terperangah takjub kala kereta pedati yang kami tumpangi melewati sebuah gapura yang dibagian kanan kirinya terdapat tembok yang terbuat dari batu merah tebal lagi tinggi. Tembok besar itu mengelilingi keraton. Terlihat sangat kokoh. Jika pun tak ada prajurit yang berjaga, para pencuri pasti tidak akan bisa memanjatnya karena saking tingginya tembok tersebut.

Di sekitar tembok- ah tidak, bukan tembok lagi namanya, melainkan sebuah benteng. Di sana, terdapat beberapa Pohon Brahmastana yang berjejer panjang dan rapi. Tak hanya itu, di sana juga ada beberapa gubuk kecil. Kurasa gubuk itu digunakan oleh prajurit Majapahit untuk berjaga.

Melewati jalanan kecil yang ada di tepi lapangan, aku menatap penuh kagum. Lihatlah, aku seperti sedang berada di sebuah nirwana. Lapangan luas ini dikelilingi oleh parit dengan air yang mengalir. Bahkan, airnya begitu jernih. Terlihat sangat menyegarkan mata.

Lagi-lagi, beberapa orang yang ada
di sekitar lapangan langsung berlutut tatkala melihat kereta pedati yang dinaiki oleh Hayam Wuruk.

Mengabaikan itu semua, aku kembali mengingat kalimat Kakek tua yang aku temui di Candi Bajang Ratu beberapa waktu yang lalu. Kakek tua itu menjelaskan tentang bangunan yang ada di depanku.

"Di bagian barat, terdapat pintu yang menghadap lapangan luas bernama Purawaktra."

Oh, ternyata seperti ini keraton Majapahit. Aku sungguh terkagum-kagum. Masih tak percaya jika aku bisa melihatnya secara langsung. Para arkeolog pasti akan merasa iri dengan pengalamanku ini, terlebih lagi dengan Mamaku. Astaga! Mana ponselku? Seharusnya aku merekamnya dan kutunjukkan kepada Mama. Tapi sayang seribu sayang, aku kehilangan benda pipih itu saat tiba-tiba muncul di masa ini.

Melewati sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu, kereta pedati yang kami tumpangi berjalan melintasi halaman keraton yang sangat luas. Di benteng bagian utara, terdapat gapura. Sedangkan di sebelah selatannya ada panggung yang entah digunakan untuk apa. Di sebelah selatannya lagi, ada bangunan seperti pendopo.

"Itu adalah balai prajurit. Biasa digunakan untuk bermusyawarah para menteri, perwira, pendeta dari aliran tiga agama, pembantuku, kepala desa, dan kepala daerah."

Aku langsung menoleh ke arah Hayam Wuruk. Jujur saja, aku terkejut dengan penjelasannya tadi. Apakah itu artinya, dia sedari tadi terus memperhatikanku?

Wow, semakin lama kau berada didekatnya, sepertinya tingkat kege-er-anmu semakin bertambah, Kirana...

Di dalam halaman keraton, ada Balai Agung Manguntur dan Balai Witana. Di luar balai itu, juga dijaga oleh para prajurit yang sangat gagah. Tombak dengan ujung yang terbuat dari besi ada di masing-masing tangannya. Para prajurit itu hanya memakai kain jarik yang dilibet-libetkan di pinggang. Panjangnya sekitar dua senti di atas lutut.

Jadi, kerajaan zaman dulu seperti ini.

"Turunlah."

Lamunanku terbuyarkan. Ternyata, Hayam Wuruk telah turun. Ah, lagi-lagi aku terbengong. Tangan kanannya meraih tanganku. Aku mengangguk, lantas dengan hati-hati menuruni kereta pedati yang cukup tinggi ini.

Para pengawal hendak mengawal jalannya kami, tetapi Hayam Wuruk segera menyuruh mereka pergi.

Kami berdua lalu berjalan di halaman keraton. Pakaianku terlihat sangat kontras. Terlebih lagi sekarang ini aku dalam keadaan basah. Benar-benar sangat memalukan.

Aku bingung. Tentu saja. Bagaimana bisa Hayum Wuruk tidak bertanya mengenai pakaian yang kukenakan? Jelas-jelas pakaianku ini sangat berbeda dengan orang-orang yang ada di sekitar kami.

Cinta Untuk Sri RajasanagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang