"Bukankah semuanya sudah lengkap? Lebih baik kita mulai makan, Ibunda," ucap Nertaja yang sepertinya ingin mencairkan suasana.
Kami semua pun mulai menyantap makanan, berhenti membicarakan topik tadi yang sejujurnya sangat membuatku tidak nyaman. Sebenarnya sejak tadi nafsu makanku sudah hilang dan ingin kembali ke kamar saja. Namun, aku tidak bisa berbuat hal itu, sudah pasti aku akan dicap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun.
Saat aku melihat ke depan, kudapati
Hayam Wuruk tengah menatapku. Dari ekspresinya membuktikan bahwa dia sedang...marah?Aku menggerutu dalam hati. Lagipula, siapa yang tidak akan marah jika perempuan yang dicintainya menolak untuk dicintai, dan malah menunjuk perempuan lain? Padahal dirinya tahu, cinta tak bisa dipaksakan.
***
"Kirana."
Langkahku terhenti. Aku sangat familier dengan suara itu. Kenapa kebetulan sekali sih, aku bertemu dengannya saat berjalan-jalan di taman keraton?
Sebenarnya aku enggan berbalik dan ingin terus melanjutkan langkah, tetapi aku tidak bisa bersikap sekurang ajar seperti itu karena Hayam Wuruk adalah orang yang paling berjasa ketika aku tinggal di keraton ini.
Aku pun menghela napas sebelum akhirnya berbalik.
"Aku ingin berbicara denganmu."
Kedua alisku hampir menyatu. Perasaanku tidak enak. Semoga saja dia tidak membahas perihal kejadian di meja makan tadi yang mana aku malah menunjuk Sudewi.
"Maaf, bisakah kita bicaranya besok? Aku sangat mengantuk sekarang." Aku menampilkan raut seperti orang yang benar-benar mengantuk dengan kedua kelopak mata yang tampak berat.
Hayam Wuruk menatapku kecewa. Namun, dia segera menyembunyikannya. "Baiklah, akan kuantar kau ke kamar."
Sebenarnya aku merasa bersalah karena telah berbohong dan membuatnya kecewa, tapi mau bagaimana lagi. Aku harus bisa menjauh darinya, dimulai dengan jarang saling berkomunikasi maupun bertemu.
***
"Terima kasih," ucapku kepada Hayam Wuruk setelah sampai di depan pintu kamarku.
Hayam Wuruk tersenyum. "Sama-sama."
Detik berikutnya hening. Kami tidak mengeluarkan sepatah kata apapun.
"Apa kau membenciku, Kirana?"
Aku langsung mendongak, menatap tak percaya ke arah laki-laki yang berdiri di hadapanku. Bagaimana bisa ia menyimpulkan hal seperti itu?
"Tentu saja tidak. Aku sama sekali tidak membencimu," bantahku dengan nada halus.
"Jika kau membenciku, kenapa kau terus mengelak dari pembicaraan tadi. Kenapa kau terlihat sedang menghindariku? Apa aku telah melakukan kesalahan kepadamu, Kirana?"
Aku tak bisa menjawab. Pikiranku sibuk mencari alibi yang tepat dengan kedua bola mata yang tak henti-hentinya melihat ke arah lain, yang pasti bukan melihat Hayam Wuruk.
Tak kunjung mendapatkan alasan yang tepat, aku menghela napas. Memberanikan diri untuk maju dua langkah sehingga jarakku dengan Hayam Wuruk hanya sekitar setengah meter, aku memegang kedua tangannya.
"Aku sama sekali tidak membencimu. Aku hanya merasa tidak pantas jika memiliki hubungan denganmu. Itu saja. Kau sendiri yang bilang bahwa aku adalah kasta sudra, dan itu benar."
Mendongak, aku menatap kedua mata Hayam Wuruk. Mata jernih itu sungguh membuatku tidak tega untuk berbohong. "Kau lebih pantas dengan Nimas Sudewi. Dia cantik, pintar, anggun, berdarah bangsawan, dan bisa melakukan apa saja. Tidak sepertiku yang tidak becus dalam melakukan berbagai hal. Kau pasti tahu itu, aku adalah perempuan yang memiliki kele-" Belum sempat kalimatku selesai, Hayam Wuruk segera memelukku erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Sri Rajasanagara
Historical FictionDewi Kirana Candramaya, namanya. Gadis pindahan dari Jakarta yang sama sekali tidak menyukai pelajaran Sejarah, tiba-tiba muncul di masa kerajaan agraris terbesar di Nusantara, Kerajaan Majapahit. Kirana tidak percaya dengan adanya cinta. Namun, kep...