28🌺

11 0 0
                                    

🌸

Percaya atau tidak, aku sedikit berterima kasih kepada Sean yang mengajakku keluar di akhir pekan ini. Aku mungkin tidak suka yang namanya jalan-jalan, namun aku benci yang namanya sendiri. Terlahir memiliki kembaran membuatku sudah terbiasa dengan adanya orang yang selalu menemaniku dan tidak terbiasa sendiri.

Aku benci yang namanya sendiri. Semenjak kepergian Lira, itu membuatku semakin menggila dan tidak pernah absen masuk ke club malam hanya untuk mencari keramaiannya. Walaupun terkadang aku tidak mengenal orang-orang disana, setidaknya aku tidak ditinggal sendirian di suatu ruangan. Orang tua yang sibuk juga kakak laki-laki yang terkadang memilih tinggal di apartemennya membuatku semakin tidak suka menginjakkan kaki di rumah.

Sean menyadari hal itu. Bahkan dia tahu bahwa aku bukan hanya benci tapi juga takut. Aku yang saat ini tengah duduk di bangku taman sendirian, tak pernah mengalihkan pandanganku dari sosok pria yang kini berjalan menghampiriku dengan membawa beberapa camilan juga minuman. Pria itu terlihat sudah menyiapkan segalanya sebelum dia mengajakku keluar. Aku hanya bisa tersenyum simpul mengingat bagaimana dia yang memastikan segalanya berjalan dengan lancar.
Hari ini menyenangkan. Aku tidak akan menyangkal karena Sean benar-benar tahu cara membuatku bahagia dan bersenang-senang. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah aku punya didunia ini.

"Kita akan kemana setelah ini?" Sean yang kini duduk disebelahku sambil mengunyah beberapa camilan yang tadi ia bawa spontan menoleh.

"Ke taman. Kau harus menenangkan pikiranmu sebelum mengikuti lomba besok." Lagi, aku tersenyum dan mengekorinya ketika kami mulai berjalan menyusuri sebuah taman yang tidak terlalu jauh dari tempat kami duduk tadi.

Bunga-bunga yang bermekaran di pinggir kolam ikan, juga angin sepoi-sepoi membuat suasana hatiku kini semakin membaik. Kami berjalan menyusuri setiap sudut taman tanpa ditemani sebuah perbincangan ringan seperti yang sering kami lakukan. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.

Tak lama setelah itu, Sean berdeham dan memulai percakapan. "Aku harap kita bisa berteman selamanya." Kalimat itu ia keluarkan begitu tiba-tiba sehingga aku tidak tahu harus merespon seperti apa.

"Kalau sudah tua nanti, ayo kita ke panti jompo bersama-sama."

Aku terkekeh mendengarnya. Untuk sesaat aku meng-iyakan ajakkannya itu, tapi aku tidak janji. "Baiklah. Mari kita lihat apakah kita masih sanggup untuk pergi ke panti jompo sendirian di umur seperti itu." Sean terkekeh dengan begitu manis. Aku sampai heran dan bertanya-tanya apakah benar aku sudah tidak menyukainya lagi? Well, itu sudah sangat jelas sebenarnya, karena aku sudah tidak merasakan debaran aneh seperti biasanya.





🌸



"Ayolah Laurent, kau pasti bisa melakukan ini. semuanya akan berjalan dengan lancar." Ku pandangi cermin besar di toilet yang menampilkan pantulan diriku yang berbalut dress putih polos tanpa lengan. Hari ini adalah kompetisi biola tingkat sekolah di adakan, dan aku merasa kurang sehat hari ini.

wajahku pucat, keringat dingin yang memenuhi pelipis, dan tubuh yang sedikit gementaran. Tinggal satu peserta lagi dan aku akan maju, namun aku tidak begitu yakin bisa bertahan lebih dari satu jam setelah turun dari panggung nanti.

Menghela napas dengan perlahan, akhirnya aku memutuskan untuk menelan beberapa pil yang di berikan Harry, lalu kembali ke belakang panggung. Lima belas menit yang lalu aku mendapat pesan dari Jacob. Pria itu memberitahuku bahwa dia telah sampai di depan gedung kompetisi ini akan berlangsung dan hal itu membuatku semakin gugup.

"Peserta berikutnya."

Aku menoleh dan mendapati salah seorang panitia yang selalu menanggil setiap peserta untuk menyiapkan diri, tengah menoleh kearahku dengan senyuman tipisnya. Dengan perasaan campur aduk, aku mengangguk dan berjalan dengan mantap ke depan panggung sambil membawa biolaku.

Pandangan pertamaku jatuh kepada Sean dan kedua orang tuanya yang duduk di barisan paling depan, kemudian tatapanku berhenti pada satu sosok yang akhir-akhir ini aku hindari. Dia menduduki kursi yang tak jauh dari tempat Luna dan lainnya tempati. Saat itu juga aku berusaha sekeras mungkin mengontrol diri dan mulai bermain.

Suara tepuk tangan yang meriah terdengar begitu jelas oleh pendengaranku. Membungkuk dengan anggun, aku kembali ke belakang panggung.

Tak lama setelah aku turun, Sean dan ketiga sahabatku menghampiriku dengan senyum merekah mereka lalu menyodorkan buket bunga mawar. Dengan susah payah aku membalas senyuman mereka.

"Kau sungguh luar biasa hari ini." Ucap Alice dengan nada kagum.

Aku menerima buket bunga tersenyum dengan kekehan pelan. Mataku mencari seseorang. Namun dia tidak ada diantara mereka. Apakah dia ingin menunggu sampai acaranya selesai? Ya...itu cukup masuk akal, karena suasananya lumayan ramai sekarang.

"Aku yakin seratus persen kau akan berada di posisi pertama kali ini."

"Jangan berlebihan. Kali ini saingannya cukup berat."

Cloe masih terus mengoceh tapi aku sama sekali tidak mendengarnya karena rasa sesak yang tiba-tiba datang. Aku yakin tadi meminum obat sebelum naik panggung, tapi kenapa sesaknya malah semakin menjadi-jadi?

Sean menatap wajahku dengan penuh kekhawatiran. Mereka memanggilku dengan nada yang panik, aku ingin menjawab panggilan mereka tapi rasa sesak yang kini menjalar benar-benar membuat lidahku keluh. Saat itu, ponselku berdering dan menampilkan nama 'Jacob' di layar ponsel yang menyala, dan detik itu juga kesadaranku menghilang.



🌸



"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif-"

Jacob menghembuskan napas kesal. Entah sudah berapa kali ia menelepon Laurent, namun yang ia dapat bukanlah suara gadis itu melainkan suara operator. Kompetisi sudah berakhir dari satu jam yang lalu dan dirinya masih setia menunggu di tempat duduknya sambil berusaha menelepon Laurent.

Seharusnya Jacob pergi menemui gadis itu bersama-sama dengan Luna dan yang lain, tapi entah kenapa dia ingin menjadi yang terakhir bertemu dengan Laurent maka dari itu ia menunggu hingga acara ini selesai. Bahkan hanya tersisa beberapa peserta yang tengah berfoto dengan kenalan mereka.

Merasa resah, pria dengan balutan seragam sekolahnya itu memutuskan untuk menghubungi Luna.

"Halo?"

"Apa Kau bersama Laurent saat ini? Aku sudah berkali-kali menelponnya, tapi tidak diangkat." Ujarnya tanpa basa-basi. Hening sejenak, sampai Luna berdeham di seberang sana dan terdengar agak ragu apakah ia harus memberitahu Jacob soal ini atau tidak.

"Aku berada di rumah sakit sekarang."

Alis Jacob berkerut heran. Seolah dapat menebak reaksi apa yang di berikan sepupunya, Luna kemudian melanjutkan kalimat yang sempat ia jeda dan berhasil membuat Jacob langsung memutuskan sambungan secara sepihak dan berlari menuju parkiran.

Laurent berada di rumah sakit sekarang, penyakitnya kambuh dan sepertinya semakin parah. Jacob tidak mengerti maksud Luna. Penyakit apa? Dia rasa selama ini Laurent baik-baik saja. Pikirannya benar-benar tak menentu, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Perasaan khawatir kembali menghantuinya setelah sekian lama.

Kini Jacob tengah berlarian di sepanjang koridor rumah sakit, mencari letak ruangan gadis yang amat sangat ia rindukan. Sampai ia melihat Luna dan kedua sahabatnya tengah duduk di depan ruangan yang ia cari sedari tadi. Tanpa berpikir panjang, ia langsung masuk ke dalam ruangan tersebut dan mendapati raut wajah seorang gadis yang berubah ceria ketika melihat dirinya masuk.














TBC.

Happy reading😊

Last wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang