Apakah kalian pernah menjadi yang satu satunya menganggap kalau jalan berdua saja bersama gebetan adalah kencan, sedangkan si dia menganggapnya hanya jalan-jalan biasa?
Ya.
Aku sedang merasakannya saat ini. Mengerikan memang, atau lebih tepatnya menyakitkan? Entahlah yang penting saat ini aku sedang mondar-mandir sambil membongkar semua isi koperku hanya untuk memilih baju yang paling cantik untuk pergi bersama Jacob.
Tapi apakah kalian tahu apa yang dia katakan padaku saat sudah sampai di depan kamar penginapan? 'Ini hanya jalan biasa saja, kenapa kau harus terlihat sempurna.' Aku kesal mendengarnya. Karena dia membuatku terlihat seperti orang bodoh dan dia sama sekali tidak peka.
Oh ayolah, ini mungkin akan menjadi yang terakhir kalinya kami bisa jalan berdua.
"Alice, bagaimana dengan yang satu ini?" Alice yang tengah fokus dengan ponselnya itu seketika perhatiannya beralih padaku.
"Bagus. Jangan lupa untuk menggerai rambutmu." Sarannya lalu kembali fokus pada ponsel.
Senyumku melebar saat menatap diriku di salah satu cermin panjang. Rambut yang awalnya di cepol, segeraku gerai seperti yang di sarankan Alice. Melihat diriku yang saat ini di depan cermin sungguh membuatku bangga.
Sempurna.
Setelah menghabiskan waktu hampir dua jam untuk berdandan, aku akhirnya keluar dan mendapati Jacob sedang berdiri sembari menyandarkan punggungnya pada dinding sebelah pintu kamar penginapan.
Raut wajahnya terlihat sedikit kesal. Sepertinya itu karena aku memakan cukup banyak waktu untuk berdandan. Aku mencibir sebelum memutuskan untuk menyapanya terlebih dahulu.
"Hei, ayo." Jacob menoleh dan segera menghampiriku.
Demi apapun, jantungku serasa ingin keluar dari tempatnya hanya karena Jacob yang secara tiba-tiba menggandeng tanganku. Selama perjalanan keluar dari penginapan kami sungguh mencuri perhatian semua siswa yang tengah berlalu-lalang dan bercerita dengan teman satu geng mereka.
Setelah keluar dari penginapan yang di sewa sekolah, aku akhirnya bisa sedikit mengurangi rasa gugupku. Catat! Sedikit. Sampai saat ini Jacob masih menggenggam tanganku dan itu terus membuatku salah tingkah.
Untuk mengurangi rasa gugup, aku segera merogoh handicam yang sengajaku bawa dan menyodorkan pada Jacob. "Rekam semua kegiatan kita hari ini." Pintaku dengan senyum yang terukir sempurna.
Dia terlihat sedikit bingung ketika menerima handcam tersebut. "Apa gunanya?" Aku mendengus sambil menatapnya dengan malas.
"Tentu saja untuk kenang-kenangan." Jawabku sedikit kesal.
"Hah, mema--"
"Aku mungkin tidak akan jalan-jalan lagi, jadi berhentilah mengoceh." Jacob langsung terdiam seolah berusaha mencerna perkataanku barusan.
Pria dengan kaos putih polos yang dilapisi jaket berwarna hijau lumut itu pun akhirnya pasrah dan memilih untuk merekam setiap kegiatan yang kami lakukan walaupun hampir semua yang ia rekam hanyalah diriku yang jalan disebelahnya.
Hari ini benar-benar melelahkan bagiku. Kalau dilihat, aku dan Jacob mengelilingi hampir setiap sudut tempat wisata di kota Cumbria yang sedang populer di kalangan remaja. Dan aku sangat berterima kasih pada Jacob karena dia dengan sabar, merekam setiap aktivitasku hari ini. Namun kadang dia meminta tolong pada beberapa pejalan kaki yang lewat untuk merekam, atau mengambil gambar kami berdua.
Ini benar-benar hari yang indah untukku. Langit yang awalnya berwarna biru, kini berganti warna menjadi oranye. Kami berkunjung disalah satu taman yang lumayan penuh dengan beberapa orang yang tengah berpiknik bersama keluarga, teman, dan pasangan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last words
Teen FictionLaurenta morris. Seorang gadis yang kehidupannya terpenuhi karena kedua orang tuanya yang bekerja sebagai pengusaha terbesar di kota london juga seorang kakak laki laki yang tampan, dia sangat muda tersenyum karena hal hal kecil namun kehidupannya t...