23🎻

7 0 0
                                    

Aku terkejut ketika pintu ruang kesenian terbuka dan muncul sosok tubuh Jangkung yang akhir-akhir ini menjadi bahan perbincanganku dan Harry.

Sean melangkah masuk tanpa mengatakan sepatah kata pun saat berjalan mendekatiku. Sedangkan aku, masih memberikan tanda tanya besar kepadanya. "Ayo ke rooftop."

Alisku berkerut bingung. Sudah datang secara tiba-tiba, sekarang malah mengajakku ke rooftop sekolah. Bahkan dia terlihat seperti tidak membutuhkan persetujuanku karena setelah mengeluarkan kalimat berupa ajakkan tersebut, dengan sendirinya dia menarik pergelangan tanganku lalu kami berjalan ke arah rooftop sekolah melalui tangga.

Namun, sebelum kami sampai di salah satu lorong terakhir untuk menuju tangga, aku melihat Jacob sedang berdiri di tengah koridor dengan kedua tangan di masukkan kedalam saku celana. Raut wajahnya terlihat sedikit kesal dan tatapan matanya tajam. Aku bertanya-tanya apa yang sedang mengganggu pikirannya saat ini hingga raut wajahnya terlihat tak mengenakkan seperti itu.

Ini sudah hampir beberapa bulan kami bertingkah seolah tak mengenal satu sama lain. Aku sangat ingin menyapanya, tapi ketika dia muncul, aku selalu menghindar dan tidak ingin berurusan dengannya. Apa itu pertanda bahwa aku masih malu soal karyawisata?

Tapi melihat keadaanku yang seperti ini, semua akan lebih baik jika aku mulai menjauh darinya daripada suatu saat dia kecewa padaku.

"Laurent!" Aku mengerjap beberapa kali dan baru menyadari bahwa saat ini kami sudah sampai didepan tangga menuju rooftop. Dan sekarang Sean menatapku dengan tatapan aneh karena melamun.

"Kau kenapa?"

"Kamu kenapa?"

Aku menggelengkan kepala ketika bayangan itu muncul. Apa-apaan ini? Aku merasa seperti mengalami deja vu. Aku mendongak menatap Sean yang masih menunggu jawaban dariku. Wajahku pucat pasi dan itu berhasil membuat raut wajah Sean berubah khawatir.

"Tak apa. Sepertinya kita pergi ke kedai ice cream saja, hari ini. Bagaimana menurutmu?" Sean menuruni beberapa anak tangga untuk menyejajarkan posisi dengan ku lalu mengangguk setuju. Sepertinya hari ini adalah pilihan yang salah untuk datang dan bersantai di rooftop sekolah bersama-sama.

"Aku akan segera kembali. Tunggu disini saja."

"Tenang saja. Memangnya aku akan menghilang dalam hitungan menit?" Ujarnya dengan nada bercanda sehingga membuat kedua gadis sebaya itu tertawa bersama.

"Hei! Ayo!" Sekali lagi aku dibuat terkejut oleh suara Sean yang memanggil dengan nada suara khawatir. "Kau duluan saja ke parkiran. Aku akan menyusul." Sean mengangguk paham lalu menghilang dari pandanganku. Aku terdiam beberapa saat menatap lurus kedepan dengan pikiran yang melayang kemana-mana. Setelah sekian lama, baru kali ini aku kembali di hantui oleh memori lama itu.

Hampir setengah jam aku habiskan berdiam diri disana, kemudian memutuskan untuk memutar langkahku menuju ke arah kiri koridor yang bisa langsung sampai di dekat parkiran sekolah. Namun sekali lagi aku harus menghentikan langkah kaki ku karena Nala dan gengnya tiba-tiba saja muncul kemudian menghalangi jalanku.

Aku mengamati setiap jejak air mata yang membekas di wajah dinginnya itu. Mungkin dia baru saja menangis karena sesuatu yang tak mengenakkan. Tak lama kemudian, satu tamparan yang begitu keras di layangkan ke pipiku hingga terasa panas. Mataku berkaca-kaca menahan rasa sakit yang mulai merambat.

"Akan ku pastikan kau menderita." Kata Nala dengan nada penuh penekanan. Setelah itu, dia pergi bersama gengnya, entah kemana, dan entah merencanakan apa lagi untuk membuatku 'menderita.'

🌸

Jacob berhenti di tengah koridor sekolah yang mulai sepi dengan raut wajah tidak suka. Awalnya dia berniat untuk menghampiri Laurent di ruang kesenian, tapi sepertinya dia terlambat karena Sean--yang katanya sahabat Laurent dari kecil itu--sudah terlebih dahulu membawa Laurent pergi.

Dengan perasaan kesal, Jacob berbalik arah dan pergi namun  sebelum itu dia sempatkan untuk menendang pintu ruang lab yang berada tepat di sampingnya. Masa bodoh dengan cctv, dia terlalu kesal sampai tidak peduli kalau besok akan mendapat hukuman.

Bukannya kembali ke tempat kedua temannya nongkrong, pria bertubuh jangkung itu malah memilih untuk masuk kedalam ruang kesenian yang menjadi tempat pertama kali dia berurusan dengan Laurent. Ketika tangannya ingin meraih gagang pintu ruangan itu, sebuah tangan menghentikan pergerakkannya.

Nala.

Sosok yang sebelumnya selalu mengisi pikirannya. Dia bahkan mulai bingung karena dirinya sendiri sudah tidak merasakan debaran itu lagi. Gadis yang saat ini berdiri di sampingnya itu lumayan agresif dan terlalu bar-bar dimatanya. Walaupun kalau dibilang Laurent bahkan lebih bar-bar, tapi Nala berbeda dan Jacob mulai lelah dengan sikapnya itu.

"Aku tanya sekali lagi. Kenapa kau berubah pikiran?" Tanya Nala dengan rahang terkatub rapat seolah menahan amarahnya.

Jacob hanya menatap Nala dengan tatapan dingin. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan berubah pikiran. Mereka berdua yang pada awalnya sudah saling suka dan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk berpacaran, malah berhenti di tengah karena kehadiran Laurent. Hal itu sungguh membuat Nala murka.

"Memangnya apa yang kau harapkan setelah pertengkaran di dekat kafetaria sekolah?" Jawaban dari Jacob berhasil membuat mata Nala mulai berkaca-kaca. Dia kesal, kecewa, dan sakit hati mendengar kalimat itu. Gadis bersurai cokelat itu menggeleng keras tak terima dengan jawaban yang di berikan Jacob. Perlahan ia mulai mundur menjauh dari Jacob yang masih menatapnya dengan tatapan dingin. Jacob itu brengs*k.

"Kau yang memulainya. Jangan salahkan aku kalau sesuatu terjadi."

Setelah itu dia pergi sambil terisak. Jacob terkekeh saat sosok Nala mulai menghilang dari pandangannya. Dia tidak menyangka dirinya bisa sebrengsek ini. Dua gadis dia buat terluka-- ah ralat, tiga gadis. Gadis yang begitu mirip dengan Laurent pernah muncul di kehidupannya beberapa tahun silam dan menghilang begitu saja tanpa ada kabar apapun. Dia adalah kembaran Laurent, dan sudah meninggal dua tahun yang lalu. Jacob bahkan baru tahu soal itu beberapa bulan yang lalu ketika kematian kakeknya Laurent. Mungkin setelah menghilangnya kembaran Laurent, disitulah awal mula Jacob menjadi pria yang sangat brengs*k.

Kematiannya terlihat sangat disembunyikan dari pihak sekolah maupun keluarga. Sehingga saat berita duka itu muncul, satu pun siswa yang tahu, tidak diperkenankan untuk membahasnya. Sampai Jacob yang sering bolos pun tidak tahu soal berita itu.

Laurent. Sifatnya sangat berbeda dengan kembarannya itu. kembarannya sangat ramah, tidak mengenal yang namanya menghabiskan akhir pekan di club, dan terkadang lucu. Sedangkan Laurent, dia adalah gadis tergila, terbar-bar, dan ternekat yang pernah Jacob kenal. Tapi Laurent punya satu sisi dimana dia selalu ceria di depan semua orang, jarang terlihat lemah, dan tidak pernah mau orang banyak melihatnya mengeluarkan air mata.

Tanpa disadarinya, Jacob tersenyum mengingat tingkah-tingkah Laurent yang sangat ekstrem dan gila.

"Jangan salahkan aku kalau sesuatu terjadi."

Seketika Jacob terdiam dan senyumannya mulai memudar. Hanya satu nama yang ada di pikirannya saat ini. Yaitu Laurent. Tanpa berpikir dua kali, ia berlari menyusuri setiap koridor kosong mencari gadis yang kemungkinan saja sudah berada dalam masalah akibat ulah Nala. Apalagi mata Jacob menangkap sosok Sean yang tengah menunggu di luar sendirian tanpa adanya Laurent membuat Jacob semakin khawatir.

"Sialan." Umpatnya dengan nada suara dingin.















Tbc.

Happy reading!!!!^^

Vote please 🙇🙇

Next?

Last wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang