22🌷

9 1 0
                                    

Beberapa hari lagi akan diadakan ujian akhir semester yang berarti semua murid belajar mati-matian untuk bisa merebut posisi juara umum yang kini di tempati oleh aku. Sedangkan aku? Malah berkunjung ke rumah sakit lagi untuk memeriksa keadaanku.

Hari ini aku datang sendirian tanpa ditemani oleh Mom, Dad, atau pun Alex. Mereka benar-benar sibuk sehingga aku yang harus datang sendirian dan menerima semua ucapan Harry dengan lapang dada.

Rumah sakit hari ini tidak jauh berbeda dengan hari-hari yang lalu. Tetap ramai. Saking seringnya aku muncul di rumah sakit ini, ada beberapa perawat yang sudah menjadi temanku, begitupun dengan beberapa pasien yang ruang inapnya bersebelahan dengan ruang inap yang sering ku pakai.

Dan disinilah aku sekarang, berdiri di depan pintu berwarna putih dengan palan nama bertuliskan nama Harry. Aku terlihat sedikit ragu ketika ingin menarik gagang pintu tersebut karena belum siap mendengar hasil pemeriksaan beberapa hari yang lalu. Sampai akhirnya aku menghela nafas pasrah dan menarik gagang pintu tersebut.

Harry yang awalnya tatapannya sedang sibuk pada berkas didepannya, kini menoleh kearah ku yang baru saja menutup pintu ruangannya.

"Bagaimana kabarmu?" Aku mengangguk sembari memberikan seulas senyuman terbaikku. Walau sebenarnya aku dalam keadaan jauh dari kata baik.

"Silahkan duduk." Ujarnya dan mulai mengecek beberapa berkas di atas mejanya dan berhenti ketika menemukan salah satu yang ia butuhkan saat ini.

Lima menit aku gunakan untuk berdiam diri tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, sedangkan Harry, dia sibuk menatap berkas didepannya dengan dahi berkerut seolah bingung ingin memulai dari mana.

"Kondisimu akhir-akhir ini terlihat semakin memburuk, dan obat yang kau konsumsi sepertinya sudah tidak ada gunanya lagi selain menahan rasa sakit."

Aku terdiam ketika mendengar penuturan dari Harry yang menurutku sangat kejam. Tapi aku tidak bisa menyalahkannya disaat dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Satu-satunya cara adalah menunggu sampai kau bisa melakukan transplantasi." Aku tersenyum kecut dan masih belum berani mengeluarkan sepatah kata pun. Keburuntungan sepertinya sudah hilang dalam kehidupanku semenjak Lira pergi. Memangnya aku masih punya waktu untuk menunggu? Benakku.

"Dan soal keluhan nyeri pada pergelangan kirimu,..." Harry menjeda sedikit karena sekali lagi dia terlihat bimbang untuk melanjutkannya.

"Itu bukan sesuatu yang serius, hanya saja kata Dr. Hana, kau jangan terlalu memaksakan diri untuk berlatih keras dalam bermain biola."

Aku mengangguk mengerti dan kembali mendengarkan kalimat Harry sambil melamun. Omong-omong soal Dr. Hana, dia adalah salah satu dokter saraf yang waktu itu memeriksa pergelangan tangan kiriku yang terkadang terasa nyeri.

"Ingatlah untuk meminum resep obat yang sudah ku berikan." Ujar Harry pada akhirnya.

"Kau tidak keceplosan saat berbicara dengan Sean kan?" Pertanyaan mendadak dariku yang sedari tadi tidak mengeluarkan suara, berhasil membuat Harry terdiam. Entah kenapa aku tiba-tiba kepikiran untuk bertanya soal hal itu. Karena akhir-akhir ini Sean--adik Harry--terkadang tidak sadar berbicara soal penyakit dan obat-obatanku.

Diamnya Harry berhasil membuat raut wajahku berubah menjadi datar. Itu berarti dia benar-benar memberitahu Sean.

"Dia tak sengaja melihat berkas tentangmu di dalam ruang kerjaku."

Rasanya aku ingin berteriak karena frustrasi. Awalnya aku ingin memberitahu Sean sendiri tapi si bodoh itu malah tahu dengan sendirinya.

"Jadi itu sebabnya dia mematahkan hidungmu?" Tanya Laurent dan berhasil membuat Harry tertawa sambil mengusap tengkuknya karena salah tingkah dan itu berarti tebakkanku benar.

Aku menghela nafas lalu beranjak dari tempat duduk yang dari tadi ku tempati. "Aku akan pulang sekarang."

"Hati-hati." Ujarnya dan hanya dibalas oleh cengiran bodoh dariku.

🌸

Aku lolos seleksi untuk mengikuti lomba bermain biola tingkat sekolah lagi. Memangnya siapa lagi yang akan di pilih selain aku? Bukannya ingin menyombongkan diri, tapi kalau dihitung, prestasi yang aku berikan untuk sekolah ini sudah lumayan banyak jadi tidak menarik kemungkinan kalau aku yang akan terpilih.

Hari ini moodku sedang sangat bagus jadi setelah jam pelajaran terakhir, aku segera memutuskan untuk pergi ke ruang kesenian disaat Alice, Luna, dan Cloe mengajakku untuk pergi ke club bersama-sama. Tentu saja aku menolak, apalagi mengingat kondisiku yang seperti ini, terakhir kali aku pergi ke club mungkin beberapa hari setelah pulang karyawisata.

Koridor yang tadinya sedang ramai, kini perlahan mulai sepi ketika para siswa-siswi mulai berhamburan keluar dari gedung sekolah, dan menyisakan beberapa siswa-siswi yang masih mengikuti ekstrakurikuler.

Aku sampai di depan pintu ruang kesenian dengan senyum merekah tak seperti biasanya yang hanya menampakkan wajah cuek. Ku tarik gagang pintu dan masuk kedalam ruangan yang akhir-akhir ini mulai jarang aku kunjungi. Aku masuk dan menyimpan tasku di salah satu meja, kemudian berjalan kearah jendela besar paling ujung yang pemandangannya tepat pada gerbang belakang sekolah yang masih ada beberapa anak laki-laki disana, duduk nongkrong sambil bercerita atau apapun itu yang mereka lakukan sekarang.

Sebelum benar-benar memulai latihanku, aku melakukan beberapa pemanasan pada kedua tanganku agar dapat lebih leluasa bergerak. Setelah itu, aku mengambil salah satu biola milik sekolah dan mulai berlatih tiga lagu yang akan aku gunakan saat mengikuti lomba. Aku berlatih cukup lama untuk lagu ketiga karena sedikit susah, namun pelan-pelan sudah mulai membaik.

Jendela kecil di belakangku yang sedikit terbuka dan mengeluarkan suara musik dari permainan biola, dan berhasil mengalihkan perhatian beberapa siswa yang sedang nongkrong di dekat gerbang belakang sekolah. Mereka adalah Jacob dan teman-temannya. Pria jangkung itu yang pada awalnya sedikit terkekeh karena lelucon dari Josh, seketika pandangannya terpaku pada satu sosok yang kini sedang berlatih mati-matian di dalam ruang kesenian. Sosok yang ia amati itu, akhir-akhir ini sering sekali menghindarinya dan tak lagi bersikap seperti sosok yang ia kenal dulu.

Tanpa berpikir dua kali, Jacob melangkah kembali ke pekarangan sekolah, berniat untuk menghampiri sosok itu. Dia tidak bisa, dan tidak sanggup lagi menghadapi sikapnya yang selalu saja pergi di saat Jacob menghampirinya. Jacob rindu saat dimana Suara ceria gadis itu masuk kedalam telinganya, dia rindu saat dimana ia membuat gadis itu mencak-mencak karena kesal dengan pipi yang dibuat kembung, dia juga rindu mendengar suara tawa gadis itu.

Kalau boleh jujur,Jacob menyesal mengeluarkan kalimat bodoh berupa penolakkan saat karyawisata hanya karena dirinya yang mulai bingung dengan perasaannya sendiri.

Apakah salah kalau dia rindu senyuman gadis bodoh itu?

Apakah salah kalau dia mengaku bahwa dia rindu segala sesuatu yang bersangkutan dengan Laurent?
















TBC.

Jangan lupa di vote 😊

Sorry kalau banyak typo

Next?

Last wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang