27🎻

7 0 0
                                    

Aku bisa melihat tatapan mata Sean yang penuh dengan amarah. Cara dia membawaku keluar dari dalam club dan membawaku masuk ke dalam mobil sangat jelas kalau pria itu benar-benar sedang menahan amarahnya yang bisa meluap kapan saja.

Aku tahu ini adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan karena pergi ke club tanpa izin dan di kondisi tubuhku yang semakin melemah tapi aku benar-benar butuh waktu untuk menenangkan pikiran.

Setelah kami berdua masuk kedalam mobil, Sean sama sekali tidak menjalan mobilnya melainkan hanya menatap kosong kearah depan dengan rahang yang terkatub rapat.

"Kau sepertinya sudah kehilangan akal sehat."

Aku menoleh kearahnya yang kini juga menatapku dengan tatapan dingin. Jujur, ini pertama kalinya aku berhadapan dengan Sean yang benar-benar marah dan terlihat mengerikan seperti itu. "Apa kau berniat untuk mati secepat itu?"
Perkataan Sean barusan berhasil menyinggungku. Aku menoleh kearahnya dengan dahi berkerut dan wajah yang kesal. Demi apa pun aku paling benci kalau ada yang memarahiku dan mebawa-bawa kata mati seolah aku benar-benar bisa mati walau hanya melakukan hal kecil. Oh ayolah, aku juga tahu kalau pergi ke club adalah hal yang salah tapi aku tidak menyentuh minuman disana jadi tak ada salahnya sama sekali.

"Aku hanya ke club dan tidak meminum minuman yang mereka sediakan." Ujarku dengan geram.

"Oh ya? Apa kau bisa mejamin hal itu?" Sean benar-benar berhasil memancing emosiku dan mulutnya makin kesini semakin tidak bisa ia kontrol sama sekali.

"Terserah kau saja. Ini bukan urusanmu."

"Bukan urusanku?! Bagaimana kalau kau benar-benar mati?!" nada bicara pria itu semakin meninggi dan aku di buat terkejut dengan Sean yang memukul setir mobil dengan keras.

"Berhenti berbicara seperti itu! Ak-"
Belum selesai berbicara, aku dibuat bungkam oleh Sean yang secara tiba-tiba menarikku kedalam pelukkannya. Pelukkan yang benar-benar erat seolah ia tidak ingin aku pergi darinya. Suasana mobil seketika hening dan tidak ada seorang dari kami yang memilih untuk mengeluarkan suara.

"Kumohon sekali ini saja, berhenti bersikap keras kepala dan tetap bertahan." Aku tetap bungkam dan tidak berniat menjawab sampai dimana Sean melepaskan pelukkannya kemudian memilih untuk menjalankan mobil.

🌸

Kamar yang dibiarkan gelap gulita sama sekali tidak membuatku merasa takut, aku duduk bersandar di bawah kaki tempat tidur milikku yang lantainya beralaskan karpet bulu yang begitu lembut. Sejak tadi setelah Sean mengantarku pulang, aku hanya bisa tidur selama satu jam dan kemudian kembali terbangun hanya karena bunyi hujan di luar sana.

Aku duduk dengan cara memeluk kedua kakiku sendiri dan menyembunyikan wajahku. Aku takut. Bohong kalau aku sama sekali tidak peduli dengan semua perkataan Sean tadi, dan bohong jika aku berkata aku tidak takut sama sekali setiap pulang dari rumah sakit.
Tubuhku sekarang gementaran hebat, apalagi ketika bayangan Lira yang dipukul secara habis-habisan oleh Nick kembali muncul di pikiranku.

Nafasku memburu dan detak jantungku semakin tidak stabil. Aku kembali terkena serangan panik. Suara pintu yang diketuk dari luar sama sekali tidak aku hraukan dan airmata mulai berjatuhan di pipiku.

Brak!

Suara pintu yang terbuka secara paksa berhasil mengalihkan perhatianku yang masih tetap menangis dengan tubuh yang gementaran hebat. Aku melihat Sean sedang berdiri didepan pintu yang baru saja ia dobrak dan nafasnya terengah-engah ditambah wajahnya yang di penuhi kekhawatiran. Aku sempat bingung kenapa dia masih disini? Seharusnya dia sudah pulang sekitar satu jam yang lalu.

Tak lama kemudian Sean berlari kearahku dan menangkup wajahku yang penuh dengan airmata. "Kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?" Untuk menjawab pertanyaan dari Sean pun aku tidak sanggup. Tanpa menunggu jawabanku lebih lama, pria yang telah menjadi sahabatku selama empat belas tahun itu membawaku kedalam dekapannya.

Aku kembali menangis dengan histeris sampai Sean yang mulai membujukku hingga aku tertidur.

Paginya aku terbangun dan mendapati aku sudah berada di atas kasurku yang ukurannya sangat besar. Aku mendengar suara ribut di lantai bawah juga wangi roti panggang yang menyeruak masuk kedalam penciumanku. Perlahan aku turun dari tempat tidurku, lalu berjalan ke kamar mandi untuk sekedar menyikat gigi dan mencuci muka.

Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama di dalam kamar mandi, aku turun ke lantai bawah dan mendapati Sean yang sedang mengoles beberapa potong roti panggang dengan selai kacang. Dia masih mengenakan pakaian yang sama seperti semalam, itu berarti pria itu tidak pulang. "Semalam kau tidak pulang?" Sean melirikku sekilas kemudian berdeham.

"Ya. Alex yang menyuruhku untuk menemanimu karena katanya kau sendirian dirumah." Aku mengangguk sebagai balasan lalu memilih untuk makan roti panggang yang telah ia siapkan. Well, aku akui masakan buatan pria ini tidak buruk tapi setelah mengingat-ingat aku selalu makan roti panggang jika Sean yang memasak sarapan seolah dia hanya bisa memasak itu sebagai sarapan.

"Setidaknya masakanku tidak seburuk masakkanmu." Aku hampir tersedak mendengar dia berucap seolah baru saja membaca pikiranku. Dia menatapku dengan sedikit sebal namun seketika menyunggingkan seulas senyum menyebalkan khas seorang Sean.

"Aku tidak mengatakan apa-apa." Bantahku.

"Tapi ekspresimu menjelaskannya." Balasnya tak mau kalah. Aku memutar bola mataku malas dan melanjutkan kegiatan makanku. Aku melirik jam dinding yang menunjuk pada angka tujuh yang berarti masuh terlalu pagi untukku bangun diakhir pekan. Aku menoleh kearah Sean yang sedang makan roti panggang yang kini ikutan melirikku.

"Kau tidak berniat ganti baju?" Aku mengerutkan kening tidak mengerti.

"Memangkan apa yang salah dengan pakaianku?" Pria itu kini hanya menghela nafas berat lalu menyodorkan segelas susu untukku.

Aku semakin tidak mengerti dengannya yang bersikap tidak seperti dirinya.

"Lebih baik kau mandi dan bersiap untuk menemaniku jalan-jalan diakhir pekan." Ujarnya sambil membereskan sisa-sia makanan juga piring kotor diatas meja.

Mendengarnya saja aku sudah malas apalagi harus keluar. Oh ayolah, diakhir pekan ini bahkan untuk mandi pun aku yakin hampir sebagian orang malas untuk mandi.

"Aku tidak mau. Ini akhir pekan."

"Cepat pergi mandi. Aku tunggu di ruang tamu." Kini aku menghela nafas berat lalu berjalan dengan tidak bersemangat menuju kamarku. Sean yang kini menatap kepergianku malah benafas lega karena sedari tadi pria itu terlihat kurang nyaman dengan pakaianku yang belum ku ganti saat pulang dari club malam, atau lebih tepatnya dia tidak suka ketika aku memakai pakaian seperti itu. Well, itu memang sifatnya dan tidak pernah berubah dari dulu.


TBC.

Happy reading :*

Last wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang