25 🍀

7 0 0
                                    

Memori itu kembali lagi setelah sekian lama aku berusaha menguburnya dalam-dalam. Nafas yang memburu disertai peluh memenuhi pelipisku, pertanda seseorang baru saja bangun dari mimpi yang buruk.

Langit-langit ruangan yang berwarna putih itu membuatku teringat akan sesuatu. Kejadian dimana aku yang jatuh pingsan sehabis melakukan aksi kejar-kejaran dengan Jacob. Aku bertanya-tanya apakah dia yang membawaku ke sini? Karena seingatku, yang ada di sekitaran koridor itu hanya kami berdua.

Namun pikiran itu seakan terbuang jauh ketika aku melihat Sean yang sedang tertidur cukup pulas di salah satu sofa di sudut ruang UKS. Bisa disimpulkan bahwa Seanlah yang membawaku ke sini. Memangnya apa yang aku harapkan dari Jacob.

Perlahan aku mulai bangkit dari ranjang UKS lalu melangkah menuju tempat Sean tertidur. Matahari mulai terbenam dan jam dinding di ruangan ini menunjuk pada angka lima. Aku harus segera pulang dan bersiap-siap pergi ke rumah sakit untuk mengambil tambahan obat.

“Hey, bangun.” panggilku dengan suara yang terbilang pelan.

“Sean, bangun.” Masih tidak ada pergerakkan darinya sampai aku yang mulai kehilangan kesabaran, langsung menjambak rambut miliknya hingga pria itu berteriak.

“Wah... kau benar-benar seorang iblis.”

Aku mendengus kesal mendengar penuturannya. Ugh! Wajahnya sehabis bangun tidur sunggguh terlihat seperti bocah berumur lima tahun dan aku sangat kesal melihat tampangnya yang seperti itu. “Jangan banyak mengoceh ayo pulang.” kini gantian Sean yang mendengus kesal sedangkan Aku, tersenyum penuh kemenangan.

Sepanjang perjalanan menuju parkiran, Sean maupun diriku sama sekali tidak mengeluarkan suara atau berniat untuk mencari topik pembicaraan seperti biasanya. Aku bukannya sedang malas mencari topik pembicaraan, tapi saat ini pikiranku hanya tertuju pada kejadian di koridor sekolah. Apakah Jacob berpikir kalau aku adalah orang aneh yang secara tiba-tiba pingsan, atau mungkin dia mulai berpikir kalau aku ini hanyalah gadis penyakitan? Entahlah aku bahkan tidak mau membayangkan seperti apa reaksinya ketika aku pingsan di depan matanya.

Bahkan ketika naik ke atas motor Sean, aku sama sekali tidak fokus mendengarkan obrolan yang sedang berlangsung antara diriku dan Sean. Motor yang berhenti di depan rumah berhasil membuyarkan lamunanku. Sosok Alex yang berdiri di depan teras rumah membuat dahiku berkerut bingung.

Tungkaiku melangkah menuju teras dan langsung melemparkan pertanyaan yang sedari tadi inginku tanyakan kepadanya.

“Ada apa? Tumben kau pulang lebih cepat.”

“Hari ini aku yang akan menemanimu ke rumah sakit.” Sebelah alisku kini terangkat, yang menandakan ini adalah sesuatu yang sangat aneh dan jarang.

“O-okey, kau terdengar sangat aneh hari ini.” Mendengar pernyataan dariku membuat Alex terkekeh kemudian mengacak rambutku hingga berantakkan. Dia bertingkah aneh dan itu sangat menyeramkan bagiku.

“Kudengar ada kau lolos seleksi untuk kompetisi biola tingkat sekolah baru-baru ini.” Aku hanya mengangguk sembari mengeluarkan dehaman kecil lalu masuk kedalam rumah untuk bersiap-siap ke rumah sakit.

Berbicara soal kompetisi itu, aku jadi teringat sesuatu. Kalau saja waktu itu aku dan Jacob masih seperti biasa, aku mungkin sudah memaksanya untuk menonton setiap penampilanku di kompetisi tersebut, dan untuk kompetisi tingkat sekolah kali ini aku sangat berharap dia bisa menontonnya. Aku bahkan berpikir untuk menghubunginya namun selalu kuurungkan karena kejadian memalukan itu.

Sungguh menyebalkan!

🌸

Langit yang sudah berubah warna menjadi oranye itu tidak membuat Jacob beranjak dari tempat ia berdiri saat ini. Bayang-bayang sosok Laurent yang secara tiba-tiba pingsan di depan matanya membuat pria itu terkejut dan tidak bisa berhenti memikirkan kondisi gadis itu.

Jacob juga tidak dapat menyangkal bahwa dia saat ini sangat khawatir dengan keadaan Laurent walaupun barusan dia sudah melihat gadis itu pulang bersama Sean. Kalau kalian bertanya-tanya siapa yang membawa Laurent ke UKS, tentu saja itu dirinya, karena pada saat kejadian itu terjadi, koridor benar-benar sepi dan Jacob segera menggendong tubuh Laurent dan membawanya ke UKS, barulah dia memanggil Sean agar menemani Laurent.

Dia tidak ingin Laurent malah melarikan diri lagi setelah sadar dan melihat sosoknya yang sedang duduk di samping ranjang UKS. Hampir satu jam ia habiskan hanya untuk memikirkan bagaimana cara agar dia dapat mengetahui kondisi Laurent yang lebih detail. Memikirkan gadis itu benar-benar membuatnya sakit kepala dan merasa frustrasi.

Hari-harinya terasa begitu berat hanya karena memikirkan cara yang benar agar dapat berbicara terlebih dahulu kepadanya. Jangankan berbicara, bahkan hanya untuk menyapa Laurent, Jacob butuh waktu setengah jam untuk memantapkan dirinya. Benar benar pengecut.

Ponsel yang bergetar pertanda sebuah pesan baru saja masuk, berhasil membuyarkan lamunan Jacob. Ternyata itu adalah pesan dari sepupunya--Luna--yang merupakan sahabat Laurent juga.

Luna :

| Sebentar lagi Laurent akan mengikuti Kompetisi bermain biola tingkat sekolah, kurasa itu akan baik untuk dirimu yang akhir-akhir ini sangat meresahkan banyak orang disekitar. |

Pesan dari sepupunya yang otaknya sebelas dua belas dengan monyet bekantan itu ternyata cukup bermanfaat bagi Jacob. Tanpa pikir panjang, pria itu akhirnya memutuskan untuk pulang kerumah karena langit yang sudah mulai gelap.

Sesampainya dirumah, Jacob masuk dan mendapati ibunya yang tengah membuka beberapa kotak yang terlihat seperti paket kiriman dari seseorang. Karena mulai sedikit penasaran, pria itu mendekati ibunya yang sedang sibuk dengan kotak tersebut,
“Darimana ibu menemukan barang-barang ini?” Ibunya yang sedari tadi sibuk mengeluarkan barang-barang dari dalam kotak, kini menoleh kearahnya.

“Oh? Kau sudah pulang ternyata. Tadi Laurent mengirimkan ibu beberapa suvenir dan buket bunga. Katanya itu dari orang tuanya yang baru saja pulang dari Indonesia.”  Dahi pria tampan itu berkerut bingung. Sepengetahuannya, Laurent bahkan masih amit-amit untuk berurusan dengan dirinya, tapi dia terlihat sangat akrab dan senang-senang saja kalau saling berhubungan dengan ibunya.

“Katanya tiga hari lagi dia akan mengikuti kompetisi tingkat sekolah kan?”

Jacob mengangguk membenarkan pertanyaan dari ibunya itu. Setelah itu ia beranjak dari tempatnya kemudian melangkahkan kedua tungkainya menuju kamar yang berada di lantai atas. Pria itu merogoh ponsel yang ia taruh di dalam saku celana seragamnya lalu dengan perasaan bimbang iya mengetik nama Laurent di penyimpanan kontak.

Ada keraguan dalam dirinya ketika ingin menekan tombol memanggil, namun ketika ia memutuskan untuk menekannya, Jacob malah kembali mengurung niatnya. Jeda lima menit, ia kembali menatap layar ponselnya yang tertera nomor Laurent.

Haruskah ia menelpon Laurent dan berkata jujur kalau dia benar-benar kacau akhir-akhir ini? Atau mungkin hanya untuk basa-basi sebentar?

TBC

Happy reading guys!!!!

Last wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang