Ini udah jalan 2 minggu sejak postingan kak Doy menjadi buah bibir di kalangan anak band SMA sederajat. Iya, bisa dibilang kak Doy dan band-nya itu cukup terkenal, sering diundang ke pensi-pensi, punya channel youtube yang udah dapet silver play button.
Echan bersyukur, banget. Itu berarti ibu semakin cepat dioperasi. Jeno sama Jindra yang notabenenya suka sama para musisi underground begini malah jadi salah dua di antara mereka. Nana mah selow aja, selama dia bisa nyenengin bunda sama Adiknya kenapa enggak. Injun juga bersyukur karena akhirnya, dia gak melulu dihujat sama Echan-Nana, karena sekarang yang ngehujat dia banyak. Lele ... ya, tiap malem dia selalu ngucapin syukur karena akhirnya punya sahabat –dikasihnya enam pula—
Dan sekarang adalah masa-masa kemerdekaan Dreamies karena satu minggu yang lalu mereka baru saja dijajah oleh UAS. Maka seperti biasa, mereka akan berkumpul di rumah Lele.
Ngomong-ngomong soal rumah Lele, ini bukan rumah dia yang segede stadion Jalak Harupat terus gak punya tetangga. Ini cuma rumah sederhana, yang kalau dikontrakin menang sejuta dan letaknya berada di belakang sekolah. Di sini juga jadi tempat mereka latihan band, soalnya biar gampang, pas pulang sekolah langsung cus ke sini tanpa perlu naik angkot atau bayar bensin.
“Ini maneh manfaatnya beli rumah di sini tuh apa sih sebenernya?” tanya Echan, iseng, soalnya gak ada yang mau ngobrol.
“Masih ditanya?” kata Nana, merasa kesal.
“Iyalah, ‘kan urang nanya, bukan ngejawab.”
“Ya biar kita gampang ngapa-ngapain A. Kalau mau latihan, di sini, gak usah nyewa studio. Kalau mau nginep, di sini. Kalau mau nongkrong-nongkrong, daripada di sisi jalan, malu-maluin, mending di sini kan,” jelas Lele.
“Harus banget dibeli?”
Plak
Injun memukul kepala belakang Echan dengan bantal sofa, empuk sih, tapi kalau yang mukul itu sosok Renandra Junaya Hadrian, maka bedalah ceritanya.
“Maneh nanya-nanya mulu kenapa si, kek punya masalah hidup. Yang ngeluarin duit juga bukan engkong maneh,” ucap Injun dengan egala emosi.
“Coba tanya si Lele berapa harganya, berapa Le?”
Echan menjadikan botol pokari bekas dia minum sebagai mic, lalu menyodorkannya ke depan mulut Lele.
“Emm ... rumahnya sepuluh, tanahnya lima. Jadi ... cuma lima belas.”
“Lima belas apa?”
“Juta.”
“TUHKAN, CUMAN CEUNAH ITU TEH,” ulang Echan penuh emosi.
(CUMAN KATANYA ITU TEH)“Ya jangan bandingin sama kantong maneh atuh, si Lele mah orang kaya. Kita yang cuma rakyat jelata cuma bisa menikmati hartanya doang,” celetuk Nana, terdengar jahat tapi Lele dengan senang hati menghamburkan uangnya untuk mereka kok, gak ada keterpaksaan apalagi pemalakan.
“NAJOOONNGG.”
“Coba tanya, urang kalo dapet lima belas juta mau buat apa,” pinta Echan.
Injun –sebagai partner super bobroknya—berdecak, karena pasti jawabannya unfaedah. Tapi demi kemaslahatan bersama, dia menyetujuinya.
“Saudara Rechano Ardinagara, jika Anda diberi uang sebesar lima belas juta rupiah, maka akan Anda pakai untuk apa?” tanyanya formal, macam reporter berita.
“Oh, jelas. Bakal saya belikan persediaan indomie untuk seumur hidup.”
Dugh
“RENANDRA ANJING!”