Operasi berjalan lancar. Echan udah nangis di pelukan A' Juan, lega karena ibu bisa melewati masa-masa kritisnya. Injun sama Dreamies dari jam sebelas kemarin ada di rumah sakit, nggak ke mana-mana soalnya A' Juan yang minta.
"Chan, urang pulang ya. A, aku pulang. Pak, Bu, aku pulang dulu," pamit Injun.
"Buru-buru banget? Mau ke mana?" tanya Mark yang juga ada di dalam ruangan.
"Nggak ke mana-mana, mama yang minta." Injun tersenyum tipis sekali.
"Ta-o-oh, iya sok," kata Mark kikuk.
"Ya udah atuh sok, maaf ngerepotin ya. Salam buat mamanya." A' Juan juga ikut menyetujui.
"Barudak, urang pulang ya," pamit Injun pada Dreamies. (Anak-anak)
Injun keluar ruangan setelah melambai singkat pada sahabat-sahabatnya, ia menghela napas panjang sekali, tekadnya udah bulat. Pokoknya, apa pun yang terjadi dia harus mendorong orang tuanya buat pisah.
***
Rumah sepi saat Injun masuk. Mungkin, mama sedang di kamarnya dan papa ada di halaman belakang, punggung pria berusia 40 tahun itu kelihatan saat Injun berhenti di ruang tengah.
"Baru pulang, Jun?" tanya Papa memastikan. Ia meletakkan korannya dan menatap Injun yang terhalang pintu kaca.
"Iya."
Hening, Injun lupa ia mau ngomong apa pada papa setelah tiba di depannya.
"Pa, ke ruang tengah sebentar, aku mau ngomong."
"Ada ap-"
"Turutin aku sekali ini aja," potong Injun, nadanya dingin dan tajam.
Injun juga mengirim pesan pada mamanya. Malas kalau harus bolak-balik.
Sekarang Mama, Papa dan Injun sudah ada di ruang tengah. Duduk di sofa yang berbeda dengan hawa canggung dan kaku. Injun lalu menghela napas, menyiapkan mental untuk berbicara mengenai ini. Injun sudah memikirkan ini selama tujuh hari, suaranya sudah bulat, gak bisa diganggu gugat.
"Aku mau kalian pisah," kata Injun tiba-tiba, nadanya dingin dan datar.
"Apa?!" pekik kedua orang tuanya bersamaan.
"Pisah aja. Aku gak papa, cuma bantu kalian biar bisa ngomongin ini," jawab Injun, masih dengan nada yang sama.
"Tapi, Jun. Papa-"
"Papa jelas-jelas udah nggak suka sama Mama. Apa yang mau dipertahanin dari rumah tangga kalian?"
Diam, hening, degup jantung Injun tiba-tiba berpacu cepat.
"Tuh, gak ada kan?" cowok itu berkata remeh.
"Jun-"
"Pa, please, aku udah muak sama perang dingin kalian. Kalian pikir aku nggak peka? Kalian pikir aku betah diem di rumah yang super dingin ini? Perpisahan udah jalan terbaik."
"Jun-"
"Ma, aku ikhlas kok. Soal hak asuh, terserah, aku bakal ikut siapa pun."
Hening lagi, Papa sepertinya sedang memikirkan jawaban yang tepat, sementara Mama menatap putra semata wayangnya dengan sendu.
"Oke, Papa bakal urus surat perceraiannya besok."
Injun tersenyum lega, entah kenapa pundaknya jadi terasa lebih ringan dari sebelumnya.
"Bagus, lebih cepat lebih baik, Pa. Aku ke kamar dulu."
Injun pergi dari sana. Menghiraukan tatapan Mama yang terlihat sangat khawatir. Cowok berpundak sempit itu masuk ke kamarnya, tapi langkahnya tertahan di ambang pintu.