2. Bikin Band

1.8K 211 19
                                    

     Injun merasa ada yang kurang hari ini, kata ketua kelas dan sekretaris, Echan izin, jadi dia gak bisa adu bacot seperti biasa. Padahal, ada banyak topik yang ingin ia debatkan dengan Echan.

“Si Echan ke mana? Sepi jir gak ada dia,” kata Nana.

“Ciee nyariin,” ledek Injun.

“Dih, maneh juga kan. Hayo ngaku.”

“Nggak,” elak Injun.

“Iya Jun, ke mana tuh si Echan? Maneh berdua kan sepaket,” kata Mark.

“Izin katanya, urang juga gak tau kenapa. Tiba-tiba ngilang,” jawab Injun.

Chat atuh belegug,” suara Jeno. (Chat aja bego)

Eh heeh nya.” (eh, iya ya)

Injun mengeluarkan ponselnya dari saku seragam putih. Membuka roomchat-nya dengan Echan yang kebanyakan berisi makian –Echan sih sering ngajak adu bacot duluan, Injun jadi kesel terus maki-maki kan, tapi gak sedikit juga yang isinya contekan tugas.

Ren : hoi, babon
Ren : ke mana aja poe ieu
Ren : lagi liburan di puncak nya? Teu ngajak-ngajak sia mah
(Ke mana aja hari ini?)
(Gak ajak-ajak ya lo)

Babon kampret : ibu urang geuring belegug. Bukan liburan ke puncak
(Ibu gue sakit bego)

Ren : alah siah, geuring naon?
(Aduh, sakit apa?)

*bingung soalnya alah siah itu apa dalam bahasa Indonesia

Babon kampret : jantung koroner ini urg dari malem di Hasan Sadikin. Bapak kerja jadi gak bisa nemenin makanya urg gak bisa sekolah
Babon kampret : katanya sih bisa sembuh
Babon kampret : tapi harus dioperasi
Babon kampret : ya maneh taulah biaya operasi segimana

Ren : urang sama yang lain ke sana atuh ya?

Babon kampret : sok weh
Babon kampret : nitip nasi padang, hehe

Ada tulisan babon kampret sedang mengetik, tapi Injun langsung mengeluarkan kemampuan terpendamnya.

Ren : geuslah teu kudu dibayar
Ren : sampe lebaran monyet *oge gak akan dibayar-bayar
(Udahlah gak usah dibayar)
(*juga)

Babon kampret : apalan, tengkyu nya Injun 😗
(Tau aja)

“Gas Hasan Sadikin, ibunya si Echan dirawat,” kata Injun setelah memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku.

“Gas,” setuju Nana sambil bangkit, ia sudah memegang kunci motor di tangan kanannya.

“Ke mana woi?!” tanya Jeno.

“Katanya mau jenguk ibunya Echan.”

Ai sia habis ini masih ada senbud masa mau cabut.”
(Lo tuh)

“Ah biasana ge cabut,” sahut Nana.
(Ah biasanya juga cabut)

Maneh teh sekarang udah temenan sama anak IPA, moal daekeun cabut.”
(Gak akan mau cabut)

“Oh, heeh nya.”
(Oh, iya ya)

Nana kembali duduk, menuruti kata Jeno meski ia ingin sekali bolos.

***

     Akhirnya, setelah bel pulang berbunyi. Keenam pemuda ini sepakat untuk menjenguk ibu Echan sebelum mereka pulang ke rumah. Bingkisan berupa satu keranjang buah jeruk pun tidak lupa mereka beli di Cicadas. Setelah menanyakan resepsionis di mana kamar rawat inap, mereka langsung bergerak ke sana.

“Emang bener gitu ke sini?” tanya Injun.

“Bener kok, kan tadi kata susternya ke sini,” jawab Jeno.

“Kita minta peta aja atuh A ke susternya, daripada nyasab,” usul Jindra. (Nyasar)

“Emang rumah sakit punya peta, Ji?” tanya Lele.

“Gak tahu.”

“Enggak ada, makanya urang gak minta juga,” balas Nana.

“Nah, sampe,” kata Jeno setelah mereka berhenti di depan sebuah pintu.

Di atasnya tertera nama ‘ruang rawat inap’ berarti ibu Echan berada di dalam. Saat dibuka, semua mata di ruangan menoleh ke arah pintu yang dibuka Nana dan dari semua mata yang menatap, tidak ada mata ibu Echan dan anaknya.

“Gak beres nih,” gumam Injun.

Cowok berpundak sempit itu mengeluarkan ponselnya. Ia menanyakan pada Echan di manakah dirinya dan sang ibu berada.

Babon kampret : blekok ih
Babon kampret : sini ke ruang tulip, urg sama ibu ada di situ

“Kita salah ruangan gais, bubar yok,” kata Injun.

“Apa kata Jindra juga, mending kita ngambil peta,” ucap Jindra yang masih kukuh dengan pendapat petanya.

Sepanjang perjalanan Nana diam saja, mungkin efek dari rasa malunya yang terkuras baru saja dimulai.

“Nah, ini baru bener Jen,” kata Injun bangga setelah menemukan pintu yang atasnya ada label ‘ruang tulip’.

“Permisi, Chan. Ini urang sama temen-temen,” kata Injun.

"Sini masuk,” ucap Echan

Lalu tirai pun terbuka, mereka disambut senyuman cerah milik Echan dan Ibunya yang terbaring di ranjang pasien dengan wajah pucat.

“Siapa itu Chan?” tanya Ibu Echan dengan suara lemahnya.

“Temen-temen, Bu.”

“Halo, Tan. Aku Nana,” sapa Nana.

Mereka berenam menyalami Ibu Echan bergantian sambil mengenalkan nama.

“Maaf ya gak ada apa-apa.”

“Gak papa Tan, kan kita yang jenguk. Jadi, ini ada sedikit buah buat Tante, semoga bermanfaat,” kata Mark sambil memberikan keranjang buah itu pada meja sebelah ranjangnya.

“Makasih ya, maaf ngerepotin.”

“Bu, aku keluar dulu ya, nanti bakal ada A’ Juan yang nemenin Ibu.” Echan akhirnya bersuara.

Teu kudu Chan, didieu weh,” tolak Injun.
(Gak usah Chan, di sini aja)

Akhirnya Echan mempersilahkan mereka duduk walau yang lain harus rela duduk di lantai. Ya soalnya kursinya cuman satu. Ibu sudah tidur, jadi mereka leluasa untuk mengobrol.

“Jadi, ngapain maraneh ke sini?”
(Kalian)

Maneh nya ku urang dibageuran teh kitu,” sahut Injun.
(lo tuh ya dibaikin sama gue malah gitu)

“Ok. Renandra Junaya Hadrian dan kawan-kawan, ada apa gerangan kalian datang ke sini?” ulang Echan.

“Pertama yang pasti jenguk Ibu maneh, yang kedua di sini kita bakal bantu maneh cari dana buat operasi Ibu,” jawab Mark.

“Caranya?”

“Kita bikin band," sahut Mark dengan suara berbisik.

Tbc

Catatan :
Berikan banyak dukungan buat Yo Dream semua, apalagi komen 😉

Yo Dream! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang