"Mama?"
Jeno memanggil nama itu dengan bisik lirih, matanya yang sudah blur makin nggak kelihatan karena genangan air mata. Jeno memandangi mamanya seolah beliau adalah alien yang baru saja keluar dari UFO.
"Mama?" panggil Jeno sekali lagi.
"Iya, ini Mama, Jevano."
"Kenapa Mama bisa ada di sini? Ini bukan mimpi kan?" Jeno masih bertanya dengan sorot tidak percaya.
"Ini bukan mimpi, Jen. Indung maneh ada di sini, urang sama yang lain di luar kalo maneh nyariin."
Mark datang dari balik punggung Mama, menepuk dua kali pundak Jeno lalu keluar dari kamar rawatnya, membiarkan Jeno berdua saja dengan wanita asing yang dia sebut Mama.
"Mama ke sini karena mau jenguk kamu, Jen," kata Mama sambil menghampiri putra semata wayangnya itu dan mengelus lembut surai hitamnya, "Mama juga mau minta maaf karena Mama pernah buang kamu, Mama menyesal, Jen."
Jeno langsung menangis detik itu juga. Ada hangat yang meleleh di dadanya, Jeno nggak mengerti, tapi mungkin kata yang tepat untuk perasaan itu adalah ... kasih sayang. Sesuatu yang pernah hilang.
"Nggak, Mama gak salah. Jangan minta maaf," kata Jeno di sela isak tangisnya.
"Maafin Mama, Jen. Mama janji nggak bakal begitu lagi, Mama janji." Mama ikutan menangis sambil memeluk Jeno.
Tuhan, Jeno nggak tahu kenapa situasinya jadi kayak sekarang. Tapi, Jeno mau berterima kasih, pada-Mu dan pada entah siapa yang udah bawa Mama ke sini.
***
"Gimana?" Injun bertanya sewaktu Mark keluar dari ruang rawat Jeno.
"Mereka bakal baik-baik aja. Nggak akan tampar-tamparan apalagi cakar-cakaran," balas Mark dengan kalem.
"Terima kasih ya, nak. Om gak tahu harus membalas dengan apa, sekali lagi terima kasih," ucap Papa Jeno, menatap Mark dengan mata berkaca-kaca.
"Jeno sahabat aku, Om. Udah sepatutnya aku bantuin dia, ini hal wajar yang dilakukan sahabat buat sahabatnya. Kalau gitu kita permisi, kita gak mau ganggu family time ini."
Papa Jeno mengangguk, Mark dan member Dreamies lainnya berlalu dari depan ruang rawat Jeno menuju kantin. Mereka duduk di meja yang sama, tidak ada obrolan, hanya suara dari sendok dan garpu masing-masing yang sedang menikmati makan siang mereka.
"Ini jelas keajaiban dunia ke delapan," celetukan Injun bikin semua atensi tertuju padanya.
"Maraneh bayangin, Jeno sama Mamanya udah musuhan dari kelas delapan terus sekarang mereka akur. Gara-gara siapa? MARK ALENDRA MAHARDIKA." Injun sengaja meneriakkan nama panjang Mark biar terkesan dramatis.
"Gak usah lebay, urang cuma ngobrol sama Mamanya Jeno."
"Apa anjir yang maneh obrolin sampe jinak gitu?" kali ini Nana yang bertanya.
"Maneh gak nuker kebahagiaan Jeno sama jiwa maneh kan, Mark? Nggak kan?" Echan bertanya lebay sambil memegang bahu Mark dan memperhatikan tubuh cowok itu.
"Nggak, ngaco. Urang cuma ngobrol biasa."
"Masih urang liatin loh, Mark," kata Injun yang sudah lelah mencari informasi dari manusia bernama Mark.
Sebelum pergi ke rumah sakit buat jenguk Jeno kayak biasanya, Mark mampir dulu ke rumah mamanya Jeno. Dia dapet alamatnya dari mana? Tentu saja membujuk papanya Jeno. Beliau setuju membiarkan Mark bertemu mantan istrinya itu secara pribadi. Kalau ditanya Mark punya keberanian dari mana, dia juga gak tahu, dia juga heran menemukan dirinya udah ada di depan pintu apartemen bertuliskan 3450, persis seperti alamat yang dikirimkan papa Jeno lewat chat. Tentu, dia sendiri yang berjalan dari lantai satu sampai lantai tiga ini (sebenarnya naik lift sih), tapi waktu denger cerita dari Nana kalau mama Jeno itu semacam sama ibu tirinya Cinderella ya dia ciut. Tapi sekarang apa? Bertemu dengannya face to face.