Jadi, mereka akhirnya sampai di kampus kak Doy. Dari tadi orangnya belum muncul sih, katanya ngurus dulu sesuatu baru nanti jemput Dreamies di parkiran. Mereka enggak datang cuma bertujuh tapi juga sama seseorang yang berperan cukup penting. Orang ini yang melatih Injun, Echan, dan Jindra buat menguasai bidangnya masing-masing –karena sebagian lagi udah jago—beliau juga yang mengaransemen lagu yang Mark ciptakan. Namanya Tirta, sepupu Mark yang blasteran Korea-Indonesia, pernah kuliah di Korea dan pindah ke Indonesia ketika sudah lulus. Papanya Kak Tirta ini musisi juga, makanya enggak heran kenapa Kak Tirta terjun ke dunia yang sama.
Ketika sedang tegang-tegangnya, ada chat masuk dari Kak Doy.
Kak Doy: lo diparkiran sebelah mn Jen?
Jeno: gue liat lo kak, yg lambai lambai itu gue ya
Jeno pun mengangkat tangannya tinggi-tinggi, mulai melambai-lambai biar kelihatan Kak Doy.
“Kak, ini gue,” teriak Jeno, soalnya Kak Doy malah melirik ke arah yang berlawanan.
Kak Doy menatap ke arah Jeno dan mengangkat tangannya, menyapa Jeno dari jauh.
“Oy! Nyubuh banget, terlalu semangat ya lo?”
“Nih yang riweuh, katanya harus cepet-cepet biar gak telat. Padahal mah ke sekolah juga biasanya lima menit sebelum bel masuk,” ucap Jeno sambil melirik Echan.
“Jevano, urang denger ya bangsat.” Echan udah melotot, siap baku hantam sama Jeno saat itu juga.
“Hehe.” Jeno nyengir.
“Ya udah langsung ke dalem aja—LOH TIRTA!” pekikan Kak Doy muncul saat dirinya baru sadar di situ ada satu orang lagi.
“DOY, ANJRIT INI BENERAN LO?” pekik Kak Tirta juga tak kalah besar.
Dreamies cuma bisa melirik Kak Tirta dan Kak Doy bergantian dengan mulut yang sedikit mangap karena dua manusia ini tiba-tiba saling berteriak macam di hutan amazon.
“Ke mana aja lo anjir.” Kedua orang itu kemudian berpelukan, sepertinya sudah lama tidak berjumpa.
“Are you guys known each other?” tanya Mark, mewakili keenam sahabatnya.
Kak Tirta mengangguk. “Doy ini temen SMA gue—“
“Dan si bangsat ini tiba-tiba menghilang seminggu setelah lulus,” potong Kak Doy.
“Hehe, gue langsung pergi ke Korea, maaf bro.”
Kak Tirta membungkuk sembilan puluh derajat, tanda bahwa ia betul-betul merasa bersalah.
Kak Doy menggeplak pelan bahu sahabat lamanya itu. “Gak usah bungkuk-bungkuk gitulah, yang penting kita udah ketemu.”
Kak Tirta bangun dan tersenyum penuh. “Yoi, bro.”
“Nanti pulang kita harus nongkrong dulu, gue ajak geng kita, gimana?” tawar kak Doy.
“Boleh tuh, pas pulang ke Indo kontak mereka ilang semua jir.”
“Ehm, punten. Ini teh mau temu kangen atau lomba ya?” celetuk Echan.
Kak Tirta dan Kak Doy menoleh bersamaan, lalu mengusak rambut Echan yang udah ditata rapi –fyi itu ngaturnya sampe setengah jam, A’ Juan juga sampe kesel liat adiknya berdiri depan kaca toilet selama itu—
“Gak sabaran banget, astaga. Ya udah kuy masuk, gue mau ngurus daftar ulang dulu ya,” kata Kak Tirta, kemudian berlari ke arah yang berlawanan.
Kak Doy membawa Dreamies menuju sebuah ruang kelas yang disulap menjadi ruang tunggu.
“Nah, ini tempat nyimpen barang sama ruang tunggu. Kalo mau jajan mah jajan aja, banyak tuh di sana. Gue tinggal gak papa kan?”