"Ya, Mark?"
Mark bergeming, dia memikirkan kembali desakan anggotanya. Sejak tiga puluh menit yang lalu, keenam anggota Dreamies membujuk Mark untuk membantu Nana membuka sebuah kafe —wasiat terakhir dari Kia, kata Nana—
"Masalahnya, maneh semua tahu apa yang dibutuhin buat bikin kafe?" Mark bertanya.
"Mari kita bertanya pada ahlinya." Lele nyeletuk, berhasil membungkam Mark untuk kedua kalinya.
"Siapa?" Nana bertanya.
"Saudara aku, A."
Nana mengangguk paham. Mereka menunggu jawaban dari saudara Lele sampai lima belas menit kemudian.
"Katanya mau ke sini aja, A. Biar gampang ngomongin nya, gimana?" Lele meminta persetujuan ketuanya.
"Ya udah, gak papa."
"Nah, kalo gitu sekarang kita tinggal nyari modal," kata Mark.
"Itulah kenapa kita buka Youtube, Mark. Lagian Minggu depan juga udah manggung, ya kan, Jen?" tanya Echan.
Jeno yang lagi main PS sama Jindra auto ngangguk. "Kita manggung di pensi 23 ceunah." (Katanya)
"Mantep banget anjir. Urang mau mancing ah," celetuk Echan.
"Mancing naon? Keributan" Injun bertanya. Perasaan mereka nggak manggung di empang atau sungai Citarum. (Mancing apa?)
"Ciway." Echan menarik turunkan alisnya. (Cewek)
Injun kontan menendang bokong sahabatnya itu sampai semua anggota Dreamies yang ada di basecamp tertawa. Suaranya membuat riuh suasana yang belakangan ini terasa sedih. Mark melirik pada Nana, mendapati sahabatnya itu tertawa lepas.
"Kapan maneh pulang ke rumah, Na?" Mark akhirnya bertanya.
Nana kurang lebih udah dua Minggu ada di basecamp, jelas bukan waktu yang sebentar. Meski Mark yakin keluarga Nana memaklumi tindakannya, tapi tetap saja mereka khawatir –atau mungkin bunda saja yang begitu—
"Hari ini, kayaknya."
"Then just go. Kalau maneh udah ngerasa baikan, pulang, Na. Bunda pasti kangen sama maneh."
Nana mengangguk. Bunda juga telah bilang beberapa kali kalau dia merindukan putra bungsunya, berharap Nana pulang keesokan harinya dan hari ini Nana memantapkan niatnya untuk pulang ke rumah. Karena seburuk apapun kenangan yang ada di sana, rumah tetaplah tempatnya memulai semua.
***
Nana meletakkan tasnya yang gendut di kursi ruang tamu. Dia melangkah lebih dalam lagi, bayangan akan sosok Kia tergambar jelas di depannya. Gadis itu berlarian, baru berhenti ketika dirasa dadanya nyeri bukan main. Lalu Nana menghampiri dan membantunya duduk, setengah mengomel karena adiknya itu bandel sekali.
"Na." Sebuah panggilan dan tepukan di bahunya membuat Nana kembali terlempar ke kenyataan.
"Bun—"
Belum sempat Nana menyelesaikan kata-katanya, bunda langsung memeluknya dengan erat. Wangi sabun mandi dan pewangi pakaian menyatu di hidung Nana. Rasanya hangat. Pelukan itu seolah mengatakan hal yang selama ini Nana rindukan; rumah.
"Bunda kangen kamu. Bunda seneng banget kamu akhirnya mau pulang, jangan kabur lagi, ya, Na. Kan ada bunda di sini." Bunda mengusap rambut anak bungsunya –ya, takhta anak bungsu sekarang resmi dipegang Nana—dengan sayang.
"Iya, Bun. Maafin aku." Nana gak bisa mengatakan apa-apa lagi selain maaf.
"Iya. Makan yuk, kamu udah makan belum? Bunda bikin tempe bacem kesukaan kamu."