12. Rezekinya Ibu

660 98 1
                                    

   Seminggu berlalu setelah kompetisi. Dreamies kecewa, sedih, dan jatuh. Tapi, Mark berkata, “Kalian pikir perjuangan semudah itu? Nggak bro. Makanya ayo bangkit, jangan mikir dengan kita kalah kita malah jadi ambruk. Nggak, ini batu loncatan untuk sukses ke depannya.”

Jadilah mereka kembali bersemangat, kembali ke rutinitas liburan mereka –karena ke tujuh bujang itu udah nerima rapor semester—dan sesekali menggelar live di-instagram atau upload video baru di Youtube.

Jindra yang baru aja pulang dari Gasibu –habis gowes bareng Nana dan Jeno—langsung menanyakan keberadaan bundanya.

“Bunda di mana, Teh?” tanya Jindra pada Teteh kasir.

“Di dapur, cari aja di sana Ji, tadi Teteh liat mah di situ.”

Jindra mengangguk, lalu pergi ke dapur yang seharusnya hanya dimasuki karyawan. Bunda Jindra ini punya toko bakery di daerah Braga, kadang kalau lagi kepengen, Jindra bakal pulang ke sini habis dari basecamp. Soalnya di rumah gak ada siapa-siapa, dia cuma tinggal berdua sama bunda, sedangkan ayah enggak tahu pergi ke mana, Jindra bahkan udah lupa mukanya.

Dulu Jindra punya ayah, sampai umurnya enam tahun. Ayah pergi, bilang pada Jindra kalau dia bakal kerja buat beliin Jindra mainan yang banyak. Bilangnya pergi ke Batam, tapi setelah tiga bulan tidak mengabari dan tidak ada uang yang masuk ke rekening bunda, di situ bunda baru sadar kalau ia baru saja ditinggalkan.

Kata bunda, ia sudah mahir membuat kue semenjak SMA dan cita-citanya juga punya toko bakery di daerah Alun-Alun. Cita-cita itu baru terwujud saat bunda menabung selama lima tahun dan membeli sebuah ruko di Braga yang ia sulap menjadi toko bakery. Jindra sekarang udah terbiasa hidup tanpa ayah, dengan bunda di sisinya itu udah lebih dari cukup buat Jindra.

“Halo, Bunda,” sapa Jindra kemudian mencium pipi Bundanya.

“Halo juga, anak Bunda, kok udah pulang lagi Ji?” tanya Bunda tanpa mengalihkan pandangannya dari adonan kue.

“Jindra kangen Bunda.”

Bunda terkekeh geli. “Mau Bunda buatin apa?”

“Kuenya selesaiin aja dulu, nanti Jindra mau nyoba, ya?” tanya Jindra penuh harap.

“Nyoba kalo setoples tuh bukan nyoba namanya, tapi ngerampok.”

“Bunda omongannya udah kayak A’ Injun tahu gak?”

Bunda terkekeh lagi, tangannya sedang menguleni adonan dengan tepung, tapi pandangannya beralih pada Jindra yang duduk di salah satu kursi tinggi khas bar.

“Kapan-kapan ajak temen-temen kamu ke sini atuh, Bunda pengen kenalan. Siapa sih yang bikin anak Bunda galau gak karuan kemaren,” kata Bunda menggoda.

“Bundaaa, temen-temen aku tuh semuanya cowok. Wajar juga kalo Jindra galau kemaren, itu lomba pertama kita dan kalah, gimana gak sedih coba?” rengek Jindra tak terima.

“Ji, menang dan kalah dalam kompetisi itu hal biasa, kamu jangan down cuma karena lomba kamu kemarin kalah, masih banyak pintu kesuksesan yang bakal kamu dan temen-temen kamu temuin. Jadi jangan stuck cuma karena satu lomba aja, ngerti?” nasihat Bunda.

“Coba Bunda yang ngerasain sini, terus bilang gitu sama diri sendiri,” ucap Jindra sambil memasang wajah songong dan memasukkan beberapa butir choco chip ke dalam mulutnya.

“Berani kamu ngomong kayak gitu ke orang tua hah? Masih bagus Bunda nasehatin bukannya Bunda ledek. Sini kamu!” kata Bunda, pura-pura kesal, ia mengambil krim kue setelapak tangannya dan mulai mengejar Jindra yang kabur ke sisi lain dapur.

Yo Dream! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang