Nana nggak bisa apa-apa, rasanya seperti sebagian nyawanya pergi bersama dengan terhentinya alat penanda kehidupan Kia. Gadis itu sudah ditutupi kain putih, siap untuk dikebumikan tapi Nana mencegahnya. Cowok itu masih kukuh kalau Kia cuma tertidur, bukan pergi ke tempat jauh yang nggak bisa ia jangkau.
"Kia mau dikemanain?! Kia gak boleh pergi! Dia mau tidur dengan nyenyak, apa kalian buta? Kia cuma tidur!" teriaknya pada dokter dan para perawat yang masih berada di dalam ruangan.
Echan mau nangis aja kalo nggak malu, dia nggak tega lihat Nana sesedih itu sampai sulit menerima kenyataan.
"Na," panggil Bunda, tangannya meraih punggung tangan Nana yang memegang brankar Kia dengan begitu kuatnya.
"Bun, aku bener kan? Kia cuma tidur, iya kan? K-Kia nggak pergi, mereka pasti bohong. Bunda jawab aku!"
Dengan terisak Bunda menjawab, "Selama lima hari kemarin kondisi Kia terus menurun. Bakal jadi sangat egois kalau Bunda membiarkan dia hidup tapi cuma dengan alat. Jadi, Na, hari ini Kia udah nggak merasakan sakit lagi. Biarkan dia istirahat dengan tenang, okay?"
Nana menggeleng kuat-kuat. Dokter dan para perawat cuma bisa menyaksikan adegan penuh air mata itu dalam diam, sudah terlalu terbiasa.
"Gak, a-aku gak siap Kia pergi. Bunda kenapa gak ngasih tahu aku kalo Bunda mau lepas alat-alatnya?" suara Nana memelan di akhir.
Bunda menghela napas panjang. "Kamu gak akan tega, kamu gak akan sanggup, kamu gak akan ngebiarin Bunda ngelakuin hal itu, iya kan? Jadi Bunda ngasih tahu kamu setelah Kia pergi."
Ayah meraih tangan Nana dari brankar putri bungsunya. "Lepasin, Na. Biarin anak Ayah beristirahat dengan tenang," katanya penuh ketenangan.
Echan ikut membantu, soalnya pegangan Nana pada brankar terlalu kuat seolah itu adalah penopang kehidupannya.
"Na, lepasin ya," ujar Echan lembut.
"Tapi Chan-"
"Maneh masih punya urang, Dreamies, sama bunda yang bisa dijadiin sandaran. Jadi biarin Kia pergi, yang paling penting dia udah gak sakit lagi."
Serupa sihir, perlahan tangan Nana mengendur. Hal itu Echan manfaatkan buat mendorong sedikit brankar Kia dan memberi kode pada dokter dan para perawat membawa jasad gadis itu keluar.
Selang beberapa menit, Nana kemudian tersadar jasad Adiknya itu sudah tak ada di sana. Dengan sorot nyalang, cowok itu mendekati Echan dan langsung meninjunya tepat di pipi bagian kanan.
"KALO BUKAN GARA-GARA SIA, KIA MASIH ADA DI SINI BANGSAT." Nana berteriak dengan napas yang menggebu, ia murka.
Echan yang tersungkur berusaha bangkit walau pipinya berdenyut keras dan giginya serasa rontok. Dia meringis, tonjokan Nana tidak pernah pelan dan nyaris selalu berhasil menumbangkan lawan.
"Na sadar!" untungnya, sebelum cowok itu menerjang Echan dua kali, Jeno dan Mark keburu datang dan menghadang.
"Sadar, Na! Sadar!" seru Jeno.
Melihat Mark dan Jeno yang kesusahan karena tenaga Nana terlalu besar, Ayah berinisiatif untuk membantunya. Beliau memeluk tubuh anaknya itu dari belakang.
"Keluar jig, cariin obat buat si Echan," suruh Injun pada dua anak bungsu Dreamies di tengah keributan itu.
(Keluar sana)Dua bungsu Dreamies yang terlanjur ketakutan memilih mengangguk, kemudian pergi dari sana untuk menghindari amukan Nana.
"SINI ANJING! GELUT SINI SAMA URANG."
Echan malah mengusap pipi kanannya tanpa memedulikan teriakan Nana yang murka. Lalu tanpa menunggu lama, cowok itu terkulai lemas di pelukan Ayah. Nana jatuh pingsan.