PLAK
"Bunda gak pernah mengajarkan kamu jadi anak yang kasar kayak gini, Jean! Gimana kalo Jeno meninggal? Kamu bisa tanggung jawab emangnya ha?!"
"Bela diri bukan dipake buat kayak gini! Ini yang bunda takutkan kalau bunda biarin kamu menguasai bela diri! Kamu sama aja kayak ayah kamu!"
"Minta maaf sana sama Jeno, jangan pulang ke rumah kalo Jeno gak maafin kamu!"
BRAK
Bunda mengelap air matanya yang turun, lalu pergi dari hadapan Jean yang termenung di teras sambil memegangi pipinya yang merah.
"Introspeksi sana, anjing." Ayah bahkan mengumpat di depan wajahnya.
Nana meringis. Dari tadi dia ada di sana, mengintip dari arah tangga. Dia berlari keluar saat ayah dan bunda sudah masuk kamar, untungnya Jean belum pergi jauh, jadi dia bisa menyusul.
"Kita ngobrol di taman yuk, Je," ajak Nana.
Setelah sampai di taman, mereka berdua (sebetulnya hanya Nana) sepakat untuk duduk di ayunan sambil menenangkan pikiran. Nana menggerakkan kakinya sedikit, bikin ayunan itu bergoyang ke depan dan belakang. Tapi Jean diam saja, pandangannya kosong menatap pada pohon yang menghalangi sinar bulan.
Nana bingung harus memulai percakapan dengan kalimat apa, jadi dia diam saja sampai matanya tak sengaja menatap buku-buku jari tangan kiri kakaknya yang lecet dan memar juga mengeluarkan sedikit darah.
"Tunggu sebentar," kata Nana. Dia berdiri dari ayunannya dan berlari kecil menuju sebuah warung.
Dia kembali lagi ke taman dengan obat merah, kassa, dua botol air mineral dan plester. Kemudian Nana jongkok di hadapan kakaknya.
"Mana sini tangannya," katanya, agak sinis dan ngegas.
Jean mengulurkan kedua tangannya karena bingung Nana mau ngapain.
"Yang itu, bego." Nana menunjuk tangan kiri kakaknya.
Jean menurut, menyodorkan tangan kirinya. Nana membersihkan luka Jean, mengobatinya dengan obat merah dan menutup luka itu dengan kassa. Jean jelas terkejut, tidak menyangka Nana akan melakukan hal semanis ini.
"Mending tangan lo dibungkus begini daripada kagak punya, kan?"
"Lo kenapa ngelakuin ini?" tanya Jean lirih.
"Dibilangin mending tangan lo dibungkus kayak gorengan daripada kagak punya, lo mau mukul orang pake apa nantinya? Lo kan kidal," kata Nana, sedikit mengomel. Dia lalu duduk lagi di ayunannya.
Jean menghela napas frustrasi, Nana menyinggung soal itu lagi.
"Gue jelas marah sama Lo, Je. Bisa-bisanya lo bikin muka sahabat gue jadi ancur gitu. Tapi lo juga bawa dia ke rumah sakit, gue heran, Je. Lo sebenernya mau jadi tokoh antagonis atau protagonis?" Nana mengeluarkan pendapat, bikin Jean memusatkan perhatiannya pada adiknya itu.
"Je, gue paham kalo lo takut kehilangan bunda. Apalagi bunda satu-satunya keluarga yang lo punya, tapi, Je. Lo juga harus tahu kalo bunda itu penyayang. Even sama kembang di halaman depan aja dia segitu sayangnya, apalagi sama manusia." (Kembang = bunga)
"Tapi bunda ngejauh, Na. Gue—"
"Itu sugesti lo doang. Nyatanya bunda masih bisa marahin Lo, itu artinya—"
"Beliau benci gue." Jean menunduk, mukanya langsung muram. Nana tebak, air matanya akan tumpah kapan saja.
"Itu artinya beliau masih sayang sama lo, bego. Orang marah itu karena mereka khawatir cuma, mereka gak bisa mengekspresikannya aja. Bunda kayaknya terlalu campur aduk makanya marahin lo." Nana berusaha menenangkan.