26. Awal dan Akhir

153 23 15
                                    

°°°

Aku menatap tubuh terbujur kaku itu dengan perasaan campur aduk. Namun aku sudah tak dapat melihatnya lagi sebab Abhimanyu sudah terbungkus kain kafan. Aku masih menangis tanpa suara, menyisakan air mata yang berderai serupa tetesan embun. Ibunya menepuk bahuku, menyemangati sebagaimana dirinya menyemangati diri sendiri yang baru saja ditinggal anak sulungnya.

Sedangkan bang Wira kulihat sudah tak menangisi kepergian kawan baiknya. Namun matanya masih merah, ia bercakap dengan pak Hartadi—ayah dari Abhimanyu dan Ezekiel. Kulihat mereka sedang bercengkrama dengan pandangan yang kosong, di sebelahnya beberapa teman kuliah bang Wira dan mas Abhim juga duduk di sana.

Aku sedikit melamun, namun pandanganku kembali tertuju pada tubuh Abhimanyu yang kaku. Jenazahnya akan segera diangkat untuk dikebumikan di makam terdekat. Aku bangkit, dituntun ibunya dan mengikuti hingga proses pemakaman selesai.

Lantas selagi banyak orang mulai berhamburan pergi pulang, aku duduk di sisi makam dengan tanah yang masih basah itu. Menatapnya penuh pilu, dengan berderai air mata.

"Kita belum banyak mengukir cerita, kenapa kamu tega pergi ninggalin Sasmita?" Keluhku dengan berat, mulai memeluk nisannya.

Mulanya, hanya suara burung camar yang terbang di sekitar pemakaman, hingga tiba suara seseorang dengan mengejutkan.

"Karena setiap yang bernyawa pasti akan mati."

Aku melongok dan menemukan Ezekiel dengan balutan baju koko putih. Sedikit tampak lusuh karena mungkin tak sempat menyetrikanya.

"Tahu, gak? Mas Jafie sempat nanyain kamu sebelum masuk rumah sakit kemarin," ujarnya yang justru membuat tangisanku semakin pecah.

"Anak itu pengin kamu temenin waktu dijemput ajal,"

"Tapi akhirnya yang ngetalqin ayah. Terus blep, tiba-tiba dia udah gak ada."

Ezekiel tersenyum getir, mungkin masih merasa kehilangan sosok kakak di hidupnya. Hidungnya merah, namun anak itu tak mengeluarkan tangisannya sedikit pun.

Lantas Ezekiel merogoh saku celananya, membuat sebuah amplop berwarna coklat susu menyembul keluar. Amplop itu terlipat karena tak cukup masuk di kantongnya.

"Nih, titipan dari mas Jafie buat Sasmita, katanya," amplop itu ia ulurkan kepadaku.

Aku memandangnya sejenak sebelum menyimpannya di saku celana. Sedangkan Ezekiel kembali berdiri.

"Maaf ya, kalau kesan pertama pertemuan kita gak bagus. Aku sayang banget sama mas Jafie, jadi takut kalau kamu sakitin dia, atau kamu dekati karena kasian karena anak itu pesakitan. Tapi, kata mas Jafie kamu baik banget, jadi, ya, aku minta maaf baik dari diriku atau mas Jafie kalau buat kesalahan sama kamu,"

"Pulang dulu ya, mau nyiapin buat pengajian nanti malam."

Anak itu kemudian menghilang di balik sekat pemakaman, tanpa menunggu aku membalas kalimatnya.

°°°

Kemudian aku mulai meninggalkan area pemakaman kala langit mulai mendung dan sepertinya hujan akan mulai turun.

Di pintu masuk pemakaman, aku mendapati Devan yang bersandar di badan mobilnya. Lelaki itu menatapku dan kembali berdiri tegap. "Udah?" Tanyanya.

Aku mengangguk dan mulai masuk di pintu penumpang sebelah pengemudi yang sudah dibukakan Devan untukku.

Di perjalanan pulang, pandanganku kosong menatap sisi jalanan. Hamparan ilalang menjadi satu-satunya pemandangan yang dapat dijumpai. Devan berdeham, mulai menyalakan radio untuk mengusir hening.

"Kamu tahu nggak, Mit?" Tanyanya yang membuatku kontan menatapnya.

Aku menunggu Devan mengatakan kalimat selanjutnya, namun lelaki itu hanya terkekeh pelan.

Aku tak bertanya hingga membuatnya kembali melanjutkan kalimatnya yang terputus, "tahu, gak? Kenapa kata sejarah sudah sepatutnya gak boleh dilupakan tapi dikenang?"

Aku mengendikkan bahu, masih malas menanggapi kalimatnya.

"Karena masa lalu itu yang membuat kita bisa sampai masa kini. Sejarah itu kan sama saja masa lalu. Jadi, jangan pernah lupain Jafier ya. Mungkin satu tahun atau dua tahun yang akan datang, Jafier hanya sekelebat masa lalu kamu, tapi walaupun raganya udah gak ada, jiwanya masih erat di antara kita."

"Kamu boleh bersedih, gak pa-pa nangis sejadi-jadinya hari ini, biar lega. Terus besok jangan sedih lagi, kasian Jafier di atas sana, jadi berat ninggalin kita karena ada yang belum merelakan. Ambil positifnya Mit, anak itu udah gak merasa sakit lagi disana."

°°°

Pernah suatu waktu aku bertanya padanya.

“Kenapa nama-mu Abhimanyu? Seperti tokoh pewayangan saja.” itulah kalimat yang berulang kali kutanyakan padanya kala raganya masih dapat kurengkuh erat.

Ia selalu menggeleng, “saya gak tahu. Akan saya beri tahu kalau saya sudah tahu.”

Namun dirinya hanya menjanjikan sebuah omong kosong belaka. Hingga kini kala tubuhnya lenyap ditelan bumi, ia tak memberi tahukan arti dari namanya. Hingga aku mengetahui arti dibalik nama Abhimanyu dengan sendirinya—2 tahun setelahnya.

Ayahnya bilang, “Kuberi-nya nama Abhimanyu. Bukan hanya karena diriku menyukai tokoh pewayangan, namun karena memiliki arti yang lebih dalam—”

“Dari Sansekerta, artinya seorang patriot—aku mengharapkannya menjadi seorang yang pemberani—terbukti bukan? Ia berani melawan penyakitnya—hingga tiada.”

2 tahun lamanya—dan berakhir kudapatkan arti dibalik namanya dari ayahnya sendiri.

Untuk Abhimanyu, terima kasih banyak telah berjuang. Hingga kini, telah pergi—Sang Abhimanyu.

°°°

End.

masih ada satu chapter; surat untuk Sasmita.

GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang