20. Buai, takjub, dan sial

110 25 22
                                    

°°°

Sesudah hari itu, mas Abhim tak lagi mengunjungi rumahku. Untuk mengerjakan tugas bersama bang Wira atau pula mengucapkan sederet kalimat permintaan maaf dan membawakan makanan. Tidak lagi. Dan aku merasa sepi.

Bagaimanapun, aku sudah mengabaikannya selama lima minggu, dan selama itu pula dirinya berbaik hati berkunjung untuk sekedar mengucapkan kata maaf yang di tolak mentah-mentah oleh gadis tolol sepertiku.

Pagi itu, di hari Minggu yang cerah dengan jalanan depan yang basah—agaknya semalam hujan—aku keluar dari kamar, mulai menghampiri bang Wira yang berada di kamarnya.

Sesungguhnya aku telah melupakan Devan. Bukan melupakan dalam artian tak akan mengingatnya, namun benar-benar melepaskannya.

Aku berderap masuk ke kamar bang Wira yang selalu langganan dengan wangi gatsby-nya. Ia sedang tidur tengkurap dengan pandangan yang terfokus ke ponselnya.

“Abang,” aku memanggilnya yang membuatnya melakukan gerakan tiba-tiba dan menyingkap selimutnya hingga menutup layar pada ponselnya.

Firasatku berkata, dia sedang menonton sebuah adegan Jepang. Maksudku, sesuatu yang berasal dari negara Jepang—kalian tahu maksudku.

“Weyyy, ketok dulu dong kalo masuk kamar orang!!” ia mengomel. Dan itu justru membuktikan bahwa firasatku ada benarnya. Hah, semua lelaki sama saja.

Bukannya ingin tahu, tetapi ya, sekedar basa-basi saja kalau aku barusan mengganggu aktivitasnya, “abang lagi ngapain?”

“Gak lagi ngapa-ngapain. Kenapa kesini? Tumben banget mau keluar kamar.” jawabnya cepat disertai kalimat tanya. Ah, aku tahu dirinya tak mau mengungkit apa yang baru saja di lihatnya.

Tetapi, daripada kebanyakan basa-basi dan mencampuri urusan bang Wira, terus terang saja aku bertanya apa yang sebelumnya ingin kutanyakan.

“Bang,” kupanggilnya lirih. Ia mendengus, “apa?” jawabnya jengkel.

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, “mas Abhim.. kok gak kesini lagi?” tanyaku hati-hati, takut kalau tiba-tiba bang Wira menyeledingku karena sebelum-sebelumnya aku yang tak mau didatangi kawannya itu.

“Oh, si Jepri kemarin habis kontrol, makanya gak sempet kesini. Kenapa? Kangen ya?” bang Wira menaikkan alisnya, membuatku yang tadinya sudah jengkel makin jengkel di buatnya.

Eh tapi, apa katanya tadi? Kontrol?

“Mas Abhim sakit apa?” tanyaku tanpa membalas pertanyaannya.

Perasaan, bogeman Devan sudah lima minggu yang lalu, masa belum pulih juga sampai sekarang.

Anak itu sakit bukan karenaku kan? Bukan karena kecapekan bolak-balik ke rumah kan? Kalau iya, astaga aku sudah membuat anak orang terkena penyakit. Dan kalau tidak pun, tetap saja aku merasa khawatir.

Bang Wira mendecak, “dari kemarin anaknya disini kamu gak mau menjamu, giliran gak ada di cariin.” sebalnya dengan tatapan seolah menghujam kornea mataku.

“Mas Abhim sakit bukan karenaku kan?” bang Wira justru melongo.

“Memangnya Jepri kemarin kamu apain?” ah, sudahlah. Susah memang berbicara pada gigi tupai.

Kalau tanya sama bang Wira, bisa sampai pagi pertanyaanku tak akan terjawab. Jadi kuputuskan untuk melihatnya secara langsung, dengan mendatangi rumahnya.

GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang