°°°
Malam kala aku selesai melaksanakan ibadah sholat isya, kurebahkan badan di atas kasur dengan dipan selebar satu meter. Sembari bersandar dengan dua bantal empuk—dengan earphone yang tersumpal pula di kedua telinga—aku duduk dengan anteng—membalas pesan dari Devan beberapa saat yang lalu, yang berupa laporan bahwa ia telah sampai dengan selamat di rumah budhenya sehabis mengantarku.
Suara lelaki dengan nada yang menenangkan membuatku memejamkan mata menikmati lagu yang ia nyanyikan. Dengan bersenandung lirih, kuikuti lantunan lelaki bernama Adhitia Sofyan berjudul Sesuatu di Jogja.
Terbawa lagi langkahku ke sana
Mantra apa entah yang istimewa
Kupercaya selalu ada sesuatu di JogjaBelum juga lagu itu berada di penghujung, lelaki dengan kaos hitam dan helm yang entah kenapa ia kenakan di dalam rumah membuka pintu kamarku. Membuatku terlonjak dan menegakkan dudukku—membuat salah satu sumpalan earphoneku menggantung jatuh.
Sembari mengelus dadaku, "kenapa sih, bang?!"
Lelaki dengan badan kerempeng namun cukup tinggi yang membuka pintu kamarku dan diam berdiri itu abangku. Namanya Wiranata Wiguna. Sudah duduk di bangku perkuliahan di sebuah Institut Seni Yogyakarta.
Ia mengunyah cakue yang sebelumnya berada di tangannya. Dengan mulut yang belum usai mengunyah makanan berminyak itu, ia menjawabku dengan suara tidak jelas. "Ayo anterin abang,"
Ia menaikkan kaca helm hitamnya yang beberapa saat menutupi wajah.
Masih belum mengerti apa yang ia katakan, sontak aku mencabut satu earphone yang masih tersumpal di telinga kiriku.
"Hah kemana??" alisku mengerut menatapnya.
Kali ini ia telah menghabiskan cakuenya hingga habis tak bersisa. "ke rumah temen abang,"
"Mau ambil card di kameranya. Abang kebagian jatah ngedit, tapi videonya masih ada dalem card di kamera dia. Ayo kancani dek, isin e nek dewe ki," lanjutnya gusar. (Ayo temenin dek, malu kalo sendirian tuh)
Aku mantap menggeleng, "nggak mau, aku barusan pulang. Capek!"
Aku tidak bohong kala menjawabnya. Pasalnya aku benar-benar merasa lelah sehabis pergi tadi. Walaupun sudah makan pecel lele bersama Devan, rasanya energiku masih belum pulih.
Baru saja aku menarik selimut—hendak berbaring untuk melanjutkan tidur—tapi bang Wira masih merengek dan mengiming-imingiku.
"Ayo, nanti tak beliin terang bulan wes," tawarnya dengan raut dibuat sedih.
Bukannya mengkasihaninya aku justru dibuat jijik akan ekspresi abangku itu. Tetapi tak ayal bayangan terang bulan dengan isian selai coklat serta kacangnya membuatku menelan ludah.
Buru-buru aku duduk tegap lagi dan menatapnya penuh gairah, "coklat kacang ya!!" sementara bang Wira cuma bisa mengangguk.
°°°
Netraku mengitari bangunan dua lantai dengan tembok berwarna kuning gading. Motor yang aku dan bang Wira tunggangi berhenti di depan pagar hitam yang tak cukup tinggi. Sementara sesosok kucing berwarna oranye menghampiri pagar. Membuatku buru-buru turun dan berjongkok di depan pagar untuk dapat mengelus bulunya yang halus di dalam pagar.
Tak lama, lelaki dengan kaos serta kolor berwarna hitam dengan panjang sedengkul itu membuka pagar. Aku buru-buru berdiri kikuk dibuatnya, sedang kucing itu hampir saja keluar dari lingkungan rumah saat lelaki tadi menggendongnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GATA ABHIMANYU ✓
Fanfiction[COMPLETED DAN BELUM REVISI] "Kenapa nama-mu Abhimanyu? Seperti tokoh pewayangan saja." itulah kalimat yang berulang kali kutanyakan padanya kala raganya masih dapat kurengkuh erat. Ia selalu menggeleng, "saya gak tahu. Akan saya beri tahu kalau say...