10. Sedikit berdusta, tidak apa bukan?

115 31 34
                                    

°°°

Kami sampai di warung pinggir jalan dengan bagian depan terpal berwarna biru. Spanduk bertuliskan Warung Bu Ninik itu melambai pelan kala angin bertiup dengan semilir—mengimbangi cuaca panas yang terik di jalan Monumen Jogja Kembali atau biasa disingkat menjadi jalan Monjali. Aku berjalan masuk kedalam sedang mas Abhim kusuruh menunggu di motor saja. Tolong katakan diriku jahat, karena nyatanya saat ini dirinya sedang menunduk kepanasan.

“Bu, mie kopyok tiga bungkus ya,” pesanku kepada Bu Ninik yang sedang memasukkan mie kedalam plastik.

Beliau menoleh sejenak, “lama nggak kemari, Sasmita. Lagi ada tamu ya di rumah?” tanyanya dengan tatapan teduh.

Aku mengangguk sembari cengengesan. Jadi tidak enak, sudah lama sekali tidak membeli mie kopyok kemari. Kalimatnya berasa layaknya ujung tombak yang menghantam dada—ah, mungkin bahasaku terlalu berlebihan tetapi begitulah nyatanya.

Kutolehkan pandang kembali kepada mas Abhim—entahlah, kenapa aku memanggilnya demikian disaat teman-temannya memanggil Jafier—sepertinya lelaki itu tersiksa akan sinar mentari yang menyengat. Kasihan, nanti kulitnya bisa menghitam. Mungkin dengan menyuruhnya masuk dan duduk di sampingku tidaklah buruk.

Baru saja aku mangap—berniat memanggilnya—seseorang memanggil namaku lirih dari belakang. “Sasmita?” lelaki dengan jaket bomber berwarna hitam itu melongokkan kepalanya mengarah ke wajahku—melihat apakah dugaannya benar atau salah.

Sontak saja aku kembali menutup mulut. Untung saja aku belum memanggil mas Abhim kemari, kalau sudah kan bisa kacau.

“Kamu sama siapa, yang?” lelaki berjaket bomber itu Devan. Penampilannya masih sama seperti saat kami pergi tadi. Bedanya, kali ini ia mengenakan jaket bomber—kalau tadi hoodie berwarna hitam.

Sedikit bingung menjawabnya, kakiku sejenak bergerak cepat—gerakan refleks. “emm, aku sendiri.”

Astaga si bodoh Sasmita. Buat apa sih, diriku berbohong seperti ini. Tetapi karena pikiranku acak-adul, takut-takut Devan marah kalau aku pergi bersama lelaki lain, jadi kujawab saja begitu. Lagipula dirinya saat ini hendak membayar—yang artinya setelah itu dirinya akan pergi dari sini.

“Loh, nggak dianter bang Wira?” nyatanya Devan sudah hafal jika aku ini penumpang langganan bang Wira—atau lebih tepatnya, bang Wira yang kujadikan sebagai ojek.

“Bang Wira lagi sakit, masuk angin.” aku menggeleng. Sembari membatin, kapan sih bocah ini pulangnya.

Astaga, padahal Devan ini kekasihku, kenapa malah aku tak betah berada di sampingnya saat ini.

Mendengarnya, Devan makin penasaran dibuatnya, “loh bukannya tadi pagi sehat-sehat aja?”

Duh, mau mati rasanya. “nggak tahu juga, aneh.” ingin rasanya menyudahi percakapan basa-basi itu, kemudian segera menyuruhnya membayar pesanan dan pulang. Bukannya berdiam diri di sampingku dengan raut wajah yang tak bisa diartikan.

Setelah itu kami terdiam. Aku hanya fokus menggigit bibir dalam—masih takut kalau tiba-tiba Devan bertanya kembali atas jawabanku yang tak masuk akal. Ya bagaimana pun, Devan sudah kuliah, mana mungkin semudah itu bisa di bohongi oleh anak SMK sepertiku.

Bukan seperti dugaanku, bukannya membayar, ia kini mendudukkan bokongnya tepat di kursi kayu sebelahku. Ya tuhan, cobaan apa lagi ini.

GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang