°°°
Setelah pulang sehabis pergi seharian bersama mas Abhim, entah kenapa rasanya berbeda. Seperti, rasanya ingin selalu berada di sisi lelaki itu. Entah itu karena sorot matanya yang sendu beberapa waktu yang lalu dan aku merasa kasihan atau karena aku sudah jatuh hati kepadanya. Namun rasa-rasanya pilihan kedua jauh tidak mungkin. Aku memiliki Devan, mana mungkin aku bisa seenak hati meninggalkannya.
Namun rasanya pikiranku ambruradul. Acak-acakan memikirkan tentang hal-hal yang sudah kulalui belakangan bersama mas Abhim pun juga bersama Devan. Rasanya seolah hatiku sudah terbagi menjadi dua dan tak lagi untuk lelaki yang sama. Malam itu kulalui dengan duduk melamun di teras rumah. Melihat jalanan yang sepi dengan lampu temaram di pinggiran jalan. Pandanganku kosong—berkelana entah kemana—hingga deru motor berhenti di halaman rumah membuatku kembali tergugah ke alam realita.
Itu kekasihku, Devan Julian dengan sekantung plastik yang bisa ditebak berisikan jajanan ringan serta es krim yang ia beli di minimarket.
Ia berjalan sembari tersenyum kepadaku. Melepas alas kakinya dan melangkah mendekat. Ya Tuhan, masa aku rela meninggalkan lelaki sebaik dirinya?
“Kenapa ngelamun di luar? Kamu lagi galau ya?” semburnya dengan kekehan yang terlihat indah.
Barangkali ia berpikir bahwa penyebab dari kegundah-gulanaan hatiku adalah perihal dirinya yang sedang sibuk-sibuknya dengan organisasi bernama himpunan dan mengabaikan kekasihnya beberapa hari belakangan.
Ia menghampiriku, menunduk untuk memberikan sebuah perantara rasa kasih dan sayang yang ia pendam erat. Hendak memagutkan bibirnya di dahiku yang entah sejak kapan sedikit panas rasanya. Namun aku menoleh ke kiri—berusaha menghindarinya saat itu. Ia kebingungan, pasalnya tak biasanya aku menolak rasa sayangnya secara mentah-mentah. Namun ia kembali berdiri tegap—tak mempermasalahkan hal kecil itu dan duduk di kursi yang berada di sebelahku duduk. Berusaha bersikap sewajarnya dan lumrah dengan pikiran bahwa kekasihnya sedang di mode ngambek.
Ia meletakkan kantong kresek itu. Mulai membuka isi di dalamnya dan mengeluarkan beberapa makanan ringan yang berhasil ia beli dengan uangnya. Ia kemudian membuka kemasan es krim dan melirik kearahku yang masih terdiam menatap lurus ke depan.
“Aku cuma beli satu. Ayang mau es krim?” tawarnya dengan memperlihatkan es krim cone di tangannya.
Aku meliriknya sekilas, tidak berminat sebetulnya. Namun ia kembali berujar seraya mengelus rambutku pelan. “biasanya kita makan satu buat berdua. Tapi hari ini kesayanganku lagi badmood, jadi yaudah Dejun relain buat Sasmita tercinta.”
Ya Tuhan, tolong ingatkan pada lelaki di sampingku ini bahwa dirinya sudah dua puluh tahun, bukan lagi siswa SMA yang bisa seenaknya bicara dengan lucu seperti itu. Yang jadi masalah hanyalah jantungku yang berdegup bak sedang lari maraton.
Aku merampas es krim itu dari tangannya. Kemudian mulai diam-diam tersenyum karena perkataan kelewat gemasnya barusan. Devan ikut tersenyum menatapku yang hanya beberapa detik berubah drastis suasana hatinya.
“Kenapa? Baru PMS ya?” tanyanya.
Aku menggeleng. “kamu marah karena dari kemarin aku sibuk sama himpunan?”
Aku tak menjawabnya. Dalam hati bertanya-tanya, kenapa ia bisa berpikir seperti itu. Padahal aku sama sekali tak membahasnya dengan Devan.
“Yaudah maaf, kan sekarang Dejunnya udah dihadapan Sasmita. Peluk sini, yang.” ia merentangkan tangannya.
Sebelum aku berhambur ke dadanya yang bidang, ia terlebih dahulu mendekap badanku dengan erat. Membuat tanganku yang tadinya memegang es krim harus mengangkat tinggi-tinggi agar tak mengenai hoodie yang ia kenakan.
Lima detik ia terdiam, setelahnya ia kembali menjauhkan diri. Devan bersikap kembali seperti semula, seolah tak terjadi apa-apa diantara kami lima detik yang lalu. Nada suaranya pun sudah kembali seperti semula—tak di buat selucu mungkin dan terlihat manja—ia membuka kemasan snack dengan gambar tortila. Kemudian mulai memakannya sendirian tanpa menawariku. Aku tahu betul, pasti saat ini ia sedang malu setengah mati sudah terlihat konyol di hadapanku.
Aku menatapnya lamat-lamat. Kemudian tahu kutatap, ia balik menatapku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dan berakhir aku yang mengakhiri pandangan terlebih dahulu. Selalu tak tahan jika harus menatap matanya lamat-lamat.
“Mau ngomong apa?” agaknya ia tahu aku menyimpan banyak sekali keresahan di dalam kepala.
Aku menunduk, menatap es krim yang ia berikan sudah hampir mencair. Kembali berpikir apakah pertanyaan yang kuberikan pantas kutanyakan padanya atau tidak. Sedikit bimbang menentukannya, namun akhirnya kuucapkan juga pertanyaan yang menggema dalam lubuk hati serta pikiran.
“Dejun, kalau semisal aku bukan jodohmu gimana?” ia terkekeh mendengarnya.
Menyelesaikan kunyahan tortilanya dan menatapku santai, “ya gak pa-pa, kan udah ada yang ngatur.”
“Kalau aku pergi jauh dari kamu terus ninggalin bekas yang menyakitkan gimana?” tanyaku lagi, masih penasaran dengan jawaban dari mahasiswa kehutanan itu.
Kali ini ia menatapku dengan pandangan teduh namun terlihat serius, “ya.. gak pa-pa juga, aku tau maksud kamu gak seperti itu. Perasaan orang kan gak bisa di paksa, bakalan percuma kalau aku suruh kamu tetap sama aku tapi kamu udah gak ada rasa.”
Demi Tuhan, jawabannya begitu menohok. Dengan tatapan mata yang seperti itu, dengan pandangan teduh yang ia berikan. Astaga, Devan Julian aku bisa gila.
Namun tetap saja rasa penasaranku justru semakin meningkat dibuatnya, “kalau sebaliknya? Kamu yang nyakitin aku?”
Ia mendesah, terlihat sedikit sebal, “mau gimana pun juga, itu termasuk rencana tuhan kan? Pasti diganti sama yang lebih baik kok, kalau aku belum cukup baik buat kamu,”
“Lagian mana bisa aku nyakitin kamu. Bisa di gebukin mas Dhanan sama bang Wira ntar.” lanjutnya dengan terkekeh geli. Sepertinya ia membayangkan adegan itu kalau benar-benar terjadi.
Aku ikut tersenyum menatapnya. Miris sekali melihat Devan yang kukenal super jenaka berubah menjadi sendu dan sok tegar begitu.
Ia menoleh menghadapku, kemudian menggenggam tanganku dengan perlahan. “Mit, gimana pun juga, kalau kamu udah gak deg-degan waktu sama aku, bilang ya?” ujarnya membuatku bingung.
“Biar aku gak terlalu sakit,” lanjutnya dengan senyum termanis yang pernah kulihat.
Aku menatapnya ragu, “kenapa begitu?”
“Karena kalau kamu gak bilang, aku gak akan tahu. Sama aja kamu bohongin diri sendiri, juga orang lain. Sakitnya berlipat ganda, hahaha.” ia tertawa garing. Membuatku ingin sekali memeluknya erat. Membisikkan kata bahwa aku tak akan meninggalkannya, untuk orang lain pun juga diri sendiri.
Aku baru tahu malam itu kalau seorang Devan Julian sebenarnya serius dengan hubungan kami. Hanya saja ia tak menyatakannya secara langsung dan juga aku yang terlalu bodoh. Malam itu aku hanya ingin mendekapnya erat, berusaha tak akan melepaskan dirinya apapun yang terjadi.
Namun rencana tuhan tak ada yang tahu. Aku justru menghianati lelaki sebaik dirinya dan mementingkan egoku setelahnya.
°°°
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
GATA ABHIMANYU ✓
Fanfiction[COMPLETED DAN BELUM REVISI] "Kenapa nama-mu Abhimanyu? Seperti tokoh pewayangan saja." itulah kalimat yang berulang kali kutanyakan padanya kala raganya masih dapat kurengkuh erat. Ia selalu menggeleng, "saya gak tahu. Akan saya beri tahu kalau say...