14. Ezekiel Batradikara Kreshna

119 25 21
                                    

°°°

Pukul tiga sore hari kala aku dan Jian berjalan beriringan kearah pagar sekolah. Kami baru saja menyelesaikan hari yang cukup melelahkan, pasalnya hari ini jadwal pelajaran cukup padat. Dua kali pindah kelas karena sekolah kami tak memiliki kelas tetap. Paling menyebalkannya, pelajaran tentang kewarganegaraan dengan guru yang menjengkelkan. Bapak Bandi namanya, beliau terus saja menguji muridnya untuk menjelaskan apa yang sudah beliau terangkan. Melelahkan, untungnya saat ini kami sudah melewatinya.

Dengan tiba-tiba Jian berhenti berjalan dan menghadapku, “Oh ya, yang jemput kamu waktu itu siapa?” tanyanya dengan pandangan menelisik.

Sontak membuatku menganga dibuatnya, “hah? Kapan memangnya?”

“Yang jemput aku kalau bukan mas Dhanan ya bang Wira,” sedikit kesal melihat ekspresi Jian seperti itu. Masa dia tak mengenali muka kedua kakakku.

Jian menggeleng dengan cepat. “bukan, bukan. Yang waktu itu ganteng, bukan mas Dhanan atau bang Wira,” kekeuhnya.

Sontak saja kubulatkan mata, “maksudmu mas sama abangku jelek? Nanti tak bilangin orangnya loh!!”

Kontan saja Jian kelabakan. Ia berjengkit dengan aneh sembari memegang lenganku, “jangan dong! Mereka ganteng kok, cuman yang waktu itu gantengnya gak manusiawi!”

Tak manusiawi katanya, “siapa sih?”

Jian mendecak, sepertinya ia hampir menyerah untuk bertanya. Namun kala pandangannya menoleh ke sekitar, ia lagi-lagi berjengkit dan menepuk lenganku dengan keras. “itu orangnya, Mit!!” tunjuknya dengan heboh kearah sekumpulan orang tua yang duduk diatas motor masing-masing.

Tak menghiraukan tepukannya yang terasa panas di lenganku, akhirnya aku menoleh kearah yang ditunjuknya. Dan betapa terkejutnya diriku saat melihat mas Abhim duduk diatas motor vespanya dengan menggunakan celana boxer serta kaos hitamnya.

“Jemput kamu lagi tuh?” tanya Jian.

Pandanganku terfokus menatap lelaki jurusan seni itu. “itu pengganti Dejun?”

“Kamu udah nggak sama Dejun, Mit?” sontak saja kucubit lengannya.

“Ngawur! Aku masih sama Dejun!” jawabku kesal namun kembali menaruh pandang pada lelaki yang duduk di jok motor vespanya.

Tadinya aku ingin menghampiri. Sekedar bertanya apakah ia lagi-lagi disuruh bang Wira untuk menjemputku seperti waktu itu, namun mataku sontak membulat kala seorang lelaki dengan seragam sama seperti yang kukenakan menghampirinya dan mulai naik di motornya.

“Loh, itu bukannya Jeno anak perhotelan?!” seru Jian dengan nyaring hingga membuat kedua orang yang sedang kami perhatikan menoleh.

Astaga Jian, memalukan sekali.

Buru-buru aku membungkam mulutnya. Mengumpatkan kata bodoh dengan berbisik. Berusaha menunduk agar kedua orang itu tak melihat kami, namun saat arah mataku kembali menatap depan, mas Abhim melambaikan lengannya padaku.

“Sasmita!!!” sapanya dengan senyum yang merekah.

Aku menelan ludah berusaha mencari tempat sampah untuk segera meletakkan wajahku disana. Namun Jian justru menyeretku kearah mas Abhim hingga kami tiba di depannya.

GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang