05. Lekat

193 55 39
                                    

°°°

Aku dan bang Wira duduk di kursi plastik sembari menunggu terang bulan yang sudah dijanjikan bang Wira sebelumnya. bang Wira akhirnya memesan dua buah terang bulan setelah mendapat pesan singkat bahwa mas Dhanan pulang ke rumah—yang sebelumnya mendapat mandat untuk bekerja di Batam—menjadikannya terpisah jarak dari sang pujaan hati—sebut saja mbak Adisti—tunangannya.

Aku merengek sembari menyikut lengan bang Wira yang terfokus pada ponselnya setelah sebelumnya menyenggol lengannya pelan namun ia diam saja. Sepertinya ia sedang bermain game. "Abang!" kesalku.

Ia akhirnya mau merelakan waktu emasnya dan menjeda permainannya. Sontak ia menoleh menghadapku dengan tatapan seperti hendak membunuh. "kenapa sih, dek?!" jawabnya tak kalah kesal.

Aku hanya bisa cengengesan setelah sebelumnya hanya ongkang-ongkang kaki saja.

"Temen abang namanya siapa?" tanyaku penasaran.

Bang Wira kembali melanjutkan gamenya. "yang mana?"

Geram juga aku dibuatnya. Meski tampan, abangku ini bodoh juga. "Yang tadi lah. Yang mana lagi?"

Ia menganggukkan kepalanya beberapa kali, "oh Jepri."

Aku mengernyit heran. Masih ada ya nama seperti itu di jaman yang sudah modern begini.

Ah, sepertinya aku selalu buruk dalam menilai lelaki berpipi bolong itu.

Bang Wira yang tak mendengar jawabanku pun menoleh. Ia kemudian tertawa sumbang kala melihat raut bingung di wajahku.

Ia mematikan ponselnya, memasukkannya kedalam saku celana jeansnya. "namanya Jafier. Tapi panggilannya Jepri."

Aku mengangguk khidmat. "Oh, kayak abang ya? Ceking?"

Bang Wira hanya berdecih. Terlihat tak terlalu suka kupanggil begitu. Padahal kalau teman-temannya yang memanggil, dia bakalan biasa saja tuh.

"Kenapa? Kamu suka? Abang bilangin ke Dejun loh," lanjutnya ngawur.

Aku mendecak serta menyentil pahanya yang tertutup jeans tak begitu tebal. "Nggak lah! Kayak pernah ketemu di angkringan. Waktu itu dia nyerobot antrian es tehku tahu!"

Ia menatapku seakan berkata 'ah masa?' membuatku kembali ingin menyentil pahanya namun dengan tenaga paling besar yang kumiliki.

Bang Wira berdeham dan berdiri, "nanti abang bilangin Jepri deh," ujarnya sebelum berjalan kearah bapak penjual.

Aku cuma bisa menggeleng. Tapi sia-sia saja, bang Wira itu keras kepala. Kalau dia bilang iya, pastinya juga iya. Begitu pula jika ia ingin menyampaikan kepada temannya, maka begitu pula yang akan ia lakukan.

Terang bulan yang kami pesan sudah matang dan terbungkus rapi. Sesudah membayar, aku kembali membonceng motor bang Wira. Dan tak lama, motor kami pun melaju melewati jalan Kaliurang.

°°°

Sesampainya di rumah, aku dikejutkan dengan motor Devan yang sudah terparkir rapi di halaman—persis di depan pintu garasi. Sedang mobil milik mas Dhanan masih terparkir di luar pagar.

Tak hanya aku saja nyatanya yang terkejut akan kehadiran Devan di rumah. "Kok ada motor Devan, dek?" bang Wira kelihatan heran sedang aku hanya mengendikkan bahu.

Saat aku membuka pagar untuk motor bang Wira, terlihat dengan jelas Devan duduk di kursi kayu teras rumah bersama mas Dhanan. Diantara keduanya terdapat meja bundar tak cukup besar untuk menyimpan dua cangkir yang kuyakini berisi kopi panas dan ada pula asbak disana.

"Itu anaknya datang, Jun," ujar mas Dhanan kala melihatku di pintu pagar.

Mas Dhanan mengepulkan asap rokoknya dari mulut sedang Devan diam saja menatapku. Entah, aku juga tak mengerti tatapan apa yang kini ia tujukan kepadaku.

Tahu pintu garasi belum terkunci, bang Wira sekaligus memasukkan motornya kedalam sana. Anak itu sepertinya akan masuk lewat garasi—mengingat garasi memiliki pintu penghubung menuju ruang utama di rumah ini. Sialnya, kalau Devan bertanya banyak hal, aku harus menjawabnya sendirian. Padahal biang dari masalah ini ialah bang Wira.

Aku melepaskan alas kaki, "assalamualaikum," salamku sembari melangkahkan kaki di teras.

Berdiri di hadapan Devan yang bergeming, mas Dhanan tiba-tiba saja pamit untuk pergi ke dalam terlebih dahulu. Makin-makin saja kalau aku dimarahi Devan, tidak ada yang membantuku.

"Kamu ngapain kesini?" tanyaku bingung, masih dengan berdiri di depannya.

"Kamu ngapain nggak balas pesanku?" Loh, bukannya tadi sudah kubalas ya? Sebelum bang Wira masuk ke kamarku.

Devan yang melihatku bergeming meraih tanganku. Menarikku dengan pelan agar duduk di pangkuannya.

Segera saja diriku mengeluarkan ponsel dari kantung celana. Kebiasaan sih, kalau pergi sama abang pasti cuma bawa ponsel saja. Sengaja, kalau mampir jajan biar abang yang bayar.

"Bukannya tadi udah kubalas ya?" kembali kuputar pertanyaan yang terngiang di kepalaku. Pasalnya sebelum bang Wira menyuruhku untuk mengantarnya tadi, aku baru saja membalas pesan dari Devan.

Kemudian aku hanya bisa cengengas-cengenges sembari berbalik menatap Devan yang posisinya di belakangku—atau lebih tepatnya dibawahku? Karena aku duduk di pangkuannya.

"Ternyata lupa belum tekan tombol send," ujarku malu. Berarti sebelum bang Wira masuk ke kamar tadi, aku sudah duluan memejamkan mata sebelum mengirimkan balasan untuk Devan. Buktinya balasanku masih menggantung di kolom room chat.

"Dek, ini terang bulannya yang satu buat kalian berdua-"
"Astagfirullah anak muda! Itu kursi ada dua ya, kenapa segala dipake berduaan?!"

Coba tebak siapa? Bang Wira pastinya yang heboh. Niatnya mau mengantarkan terang bulan, tetapi sialnya melihat sepasang insan yang sedang dilanda kasmaran.

Dejun diam saja melihat tingkah abangku yang masih saja mengelus dadanya tanpa berniat segera memberikan kantung plastik berisi terang bulan.

Mengambil alih kantung itu darinya, aku mendecak, "makanya jangan jomblo! Kelihatan miris kan jadinya."

Bang Wira yang tak terima jadi ikutan mendecak, "kalian juga belum tentu langgeng sampe nikah! Belagunya udah ngalahin yang tunangan. Tuh lihat, mas Dhanan aja yang udah tunangan nggak sefrontal itu begituannya."

Kalimat bang Wira sedikit ambigu sih. Padahal kami hanya duduk berdampingan saja. Ini pun di rumah, banyak orang juga.

"Besok juga aku nikah sama Devan kok!" sungutku. Sedang bang Wira memilih untuk kembali masuk ke dalam. Kali saja jiwa iri dengkinya sedang menggebu-gebu di permukaan.

Malam itu, aku belum tahu kalau sesudahnya aku bisa saja jatuh hati kepada orang lain. Mengenal orang lain yang mungkin bisa saja kujadikan sebagai tambatan hati—namun, orang itu bukanlah Devan.

°°°

Bersambung...


Plis dengerin mulmed ya, aku suka bgt lagu itu🥺

Plis dengerin mulmed ya, aku suka bgt lagu itu🥺

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang