19. Elegi senja yang tak lagi sama

101 26 20
                                    

°°°

Tebakanku beberapa waktu yang lalu benar adanya. Bang Wira tidak akan mengomel dan repot-repot memarahiku karena pulang kehujanan ataupun pulang sampai malam. Malah, Devan yang melakukannya dengan senang hati.

Tak bisa dipungkiri, aku cukup sakit hati kala ia menuduhku berselingkuh. Padahal kenyataannya tak begitu, namun ia tetap saja tak mau mendengarku dan terfokus pada pikirannya sendiri. Egois.

Waktu itu berjalan amat lama. Seminggu aku menjalani aktivitas dengan berat. Selalu terpikir lelaki yang sudah dua tahun menemaniku dan tiba-tiba pergi dengan cepat. Aku tersenyum getir. Hari-hariku berlalu dengan berat. Sekolah dengan pandangan kosong dan mata sembab, membuat Jian—teman sebangkuku sekaligus satu-satunya teman yang kumiliki selalu menatapku dengan iba.

Seminggunya lagi, perasaan getir masih sama. Apalagi kala aku pergi ke kampus lelaki itu untuk menjemput mas Dimas—sepupuku yang sudah kujelaskan di bagian 04. Wiranata Wiguna, barangkali kalian lupa atau sengaja melewatkannya. Ia satu kampus—bahkan satu prodi dengan Devan. Bahkan keduanya teman dekat.

Kalau kalian bertanya-tanya bagaimana aku mulai mengenal lelaki ibu kota itu, jawabannya adalah mas Dimas. Aku mulai mengenalnya kala ikut atau mungkin lebih tepatnya mengintili sepupuku itu di cafe, mengerjakan tugas makalahnya bersama Devan. Dan setelahnya, kami mulai berkenalan. Tak sampai disitu, kala aku berkunjung ke rumah mas Dimas untuk bermain dengan Lonte—kucingku yang di adopsikan pada mas Dimas, kalau kalian lupa—Devan ada disana, bermain game konsol dan bersungut kala mas Dimas berhasil mengalahkannya. Membuat alis tebalnya terlihat amat apik berada di wajahnya.

Mulai dari situ kami mengenal, bertukar nomor ponsel, dan mulai berkencan.

Kejadiannya tiga tahun yang lalu. Satu tahun kami merasa sudah dekat dan cocok, kemudian dua tahun kami menjalani hubungan bersama. Dan dengan sehari saja ia memutuskan hubungan. Rasanya sesakit itu kala aku kembali menengok ke belakang—berharap waktu bisa diubah layaknya dentingan jam yang mati kehabisan baterai.

Aku tak tahu bagaimana hubungannya dengan abang saat ini. Sebetulnya, mereka sudah sangat dekat. Juga dengan mas Dimas, apakah mereka jadi kaku karena ulahku semata. Bayangan itu terus muncul, menggerogoti pikiran. Sasmita yang bodoh, seharusnya dapat menjaga perasaan pasangannya. Bukan malah asik berjalan-jalan di tengah luasnya kota Jogja dengan lelaki lain.

Dan juga, saat itu Devan sedang sibuk-sibuknya mengurus organisasi. Berusaha menyelesaikan tugas dengan segera agar dapat bertemu dengan sang kekasih. Eh ternyata, pacarnya justru sibuk jalan-jalan bersama lelaki lain. Terasa sekali bukan, sakit yang Devan rasakan kala itu. Pantas saja ia memutuskan hubungan kami.

Sebetulnya aku tak apa, maksudku, bukannya tak merasa sedih. Namun lebih menyedihkan hubungan orang terdekatku jadi buruk di mata seorang Devan Julian. Rasanya, berminggu-minggu aku memikirkannya hingga kepalaku berasa botak.

Dan entah kenapa, aku merasa marah dengan mas Abhim. Lelaki itu, harusnya ia tak mengajakku jalan-jalan dengan semudah itu. Mengingat aku ini sudah memiliki kekasih—harusnya dia lebih berhati-hati.

Aku sebal dengannya. Sudah lima minggu aku mengabaikannya. Beberapa kali ia bertandang ke rumah. Hendak meminta maaf, membawakan kue balok, martabak, serta makanan menggugah selera lainnya. Namun tetap saja, aku tak menerimanya sama sekali. Makanan itu akhirnya ia berikan kepada bang Wira yang dengan sumringah dan senang hati menerimanya.

Aku selalu mengunci pintu kamar kala dirinya bertandang ke rumah. Naik untuk mengetuk beberapa kali pintu kamarku yang tertutup rapat. Sesekali berujar kata maaf dan mengajakku berdamai dengan bicara di luar. Namun aku mengabaikannya, dan selalu begitu seterusnya.

Seperti saat ini, dirinya kembali mengetuk pintu kamarku dengan hati-hati. Aku sedang bergelung ria dibawah selimut dengan tumpuan dua bantal yang empuk. Moodku belum stabil, perasaanku masih getir, dan mendengarnya mengetuk pintu kamar membuatku makin membencinya.

Memang betul aku menyalahkan mas Abhim atas rusaknya hubunganku dengan Devan. Tentu saja, ini semua kesalahannya. Harusnya kala itu dia mengelak dengan benar bahwa aku tak berselingkuh dengan dirinya. Namun yang dilakukannya hanya memperkeruh suasana dengan menyalahkan Devan yang mengataiku serta mendorong bahunya. Ya, aku juga tak membenarkan apa yang Devan lakukan padanya kala itu, namun tetap saja, ini semua masalah yang di timbulkan mas Abhim.

Ia terdengar masih mengetuk pintu kamarku dengan hati-hati. Tanpa berucap sebilah pun kata kali ini.

“Udahlah, Jep. Biarin aja, besok-besok juga bakalan kayak biasa anaknya.” itu suara bang Wira. Lagaknya seperti orang bijak dengan menepuk bahu mas Abhim.

Sepertinya mas Abhim sudah pasrah. Ia tak mengetuk pintuku kembali. Namun berucap lirih yang masih bisa kudengar karena menempelkan telinga di pintu.

“Mungkin besok, atau lusa. Atau besoknya lagi. Atau nggak sama sekali.”

Kalimatnya begitu menohok. Membuatku kembali mengingat bahwa sudah lima minggu kuabaikan dirinya dengan permintaan maafnya.

Sasmita Anindyaswari, selain bodoh ternyata juga orang yang tak mudah memaafkan.

°°°

Bersambung...

GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang