°°°
“Udah gak apa. Nggak usah malu, mas, aku bayarnya pake duit loh ini.” tanganku menyodorkan segelas minuman manis dengan bulatan boba yang tenggelam di dasar gelas.
Mas Abhim menggeleng. Sudah hampir sepuluh kali kami berdebat. Teman bang Wira ini, tidak mau menghargai pemberianku atau bagaimana sih. Padahal chatime kan enak—apalagi saat ini kota Jogja sedang panas-panasnya.
Ia bahkan tak menerima uluran gelas plastik itu dari tanganku, “nggak deh, saya gak suka manis, Mit.”
Tahu begitu tadi aku beli untuk diri sendiri sama bang Wira saja. Tapi rasanya sayang sekali, maka dari itu aku masih kekeh memberikan minuman manis itu padanya. “sumpah mas, yang ini nggak terlalu manis kok. Nggak bikin eneg.”
Sebelum ia kembali menggeleng, aku segera menyelipkan minuman itu pada jemarinya yang besar. “cobain dulu, gak manis sama sekali. Kalau kurang manis bisa lihat aku.”
Ia terkekeh—manis sekali. Astaga, sadar Sasmita, Dejun lebih dari segalanya daripada mas Abhim. “ayo cobain dulu,”
Kini mas Abhim menggaruk lehernya, kemudian pandangannya beralih menatap manik mataku dengan sorot bimbang. Aku hanya mengangguk mantap, membuatnya mau tak mau menyeruput minuman itu dari sedotan.
Hanya satu tegukan, kemudian dirinya berulang kali mengecap rasa manis dari minuman itu. “manis ya?” tanyaku kala pandangannya berpendar kedalam gelas, mengaduknya—membuat boba didalamnya terlihat kentara dari luar. Dirinya mengangguk dengan sedikit senyum sumbang.
Rasanya dirinya benar-benar tak suka akan rasa itu. Padahal manis adalah rasa sejuta umat. “itu karena mas Abhim minum sambil lihat aku.”
Ia kembali terkekeh, namun tak semenyenangkan sebelumnya. Aku jadi tak enak sudah memaksanya minum, “kalau gak suka, dibuang aja deh, gak usah di habiskan,” ujarku berikutnya.
Mas Abhim gelagapan menatapku—seperti tak enak hati. Kemudian dengan cepat ia menggeleng, “eh, engga, Mit. Enak kok.” kemudian dirinya kembali menyedot minuman itu. Haha, lucu sekali.
“Kalian ngapain berduaan di situ?” bang Wira dengan raut kusutnya berdiri di ambang pintu depan.
“Sini pesanan abang!” tanpa aba ia menyambar kantungan plastik yang ada di tanganku.
Ia kemudian kembali masuk kedalam disertai gumaman, “makasih Sasmita adek abang tersayang.”
Membuatku ingin sekali rasanya melempar flat shoes yang kupakai tepat di wajahnya. Mas Abhim kembali terkekeh, kali ini rautnya telah kembali seperti semula. Tidak ada perasaan terpaksa dalam manik matanya. “yaudah yuk, masuk, mas.” ajakku setelahnya. Ia hanya mengangguk dan mengikuti langkahku masuk kedalam rumah.
Tadinya bang Wira mau makan mie kopyok di kamarnya—katanya lebih nyaman, akan tetapi aku melarangnya. Ya bagaimana tidak, kalau di kamar bang Wira, berarti sama saja bolak balik—setelah selesai makan pasti mangkuk bekasnya diserahkan padaku, malas sekali diriku jika harus naik-turun, maka dari itu aku menyuruhnya makan di meja makan saja. Tetapi yang namanya bang Wira, bandelnya setengah mati. Ia justru menggotong mangkuknya dan duduk di ruang tengah—sembari menonton televisi. Mas Abhim mah, ngikut-ngikut saja.
“Emwh iywa, bwesok jwaga pamweran kwan, Jep?” mulut bang Wira masih penuh, bahkan kuahnya sedikit muncrat ke depan—menjijikan.
Mas Abhim mengerutkan keningnya, sedang diriku menoyor kepala bang Wira dengan keras, “jorok banget, kebiasaan!”
KAMU SEDANG MEMBACA
GATA ABHIMANYU ✓
Fanfiction[COMPLETED DAN BELUM REVISI] "Kenapa nama-mu Abhimanyu? Seperti tokoh pewayangan saja." itulah kalimat yang berulang kali kutanyakan padanya kala raganya masih dapat kurengkuh erat. Ia selalu menggeleng, "saya gak tahu. Akan saya beri tahu kalau say...