24. Satu Hari Bersama Abhimanyu

108 22 34
                                    

°°°

“Padahal itu perasaan saya ke Sasmita. Tapi kamu malah sebal ya dengarnya?”

Demi Tuhan, pernyataannya sangat mengejutkanku. Bukannya aku terlalu percaya diri, namun ya, pasti kalian akan merasakan hal yang sama jika menjadi diriku. Bayangkan, teman abangmu menyatakan perasaannya—lewat lagu, dinyanyikan pula. BAYANGKAN!!

Ya, aku tahu betul kalian cuma bisa membayangkannya, berbeda denganku yang merasakan sensasi luar biasanya secara langsung dan tanpa bertahap. Hal itu serta merta membuatku menahan napas. Menyembunyikan rona merah yang tergurat dengan tidak tahu dirinya di pipi. Kalau ini hanya akal-akalan mas Abhim dan aku benar-benar terlalu percaya diri, aku bersumpah benar-benar menenggelamkan wajahku di Sungai Code.

“Jangan bercanda, mas. Aku orangnya kepedean.” jawabku seraya berusaha menahan diri untuk tak menatapnya. Bagaimana pun, wajahku masih terasa panas.

“Coba lihat saya. Memangnya raut wajah seperti ini kelihatan bercanda?” tanyanya terdengar serius. Tentu saja membuatku makin kalang kabut.

Ia menyuruhku menatapnya begitu, apa tidak berpikir bagaimana jantungku terpompa secepat badai nantinya?

“Mit?” panggilnya begitu aku tak memperindah ucapannya.

Ia berpindah tempat menjadi terduduk di sebelah kananku. Tangannya menyenggol sikuku dengan sengaja. “Kenapa? Kok diem aja,” jelas, dirinya kebingungan akan keterdiamanku. Namun diriku tak jauh bingungnya harus menanggapinya bagaimana.

“Mas Abhim, kalau setelah ini cuma bilang bercanda, Sasmita gak bakalan mau ketemu mas Abhim lagi setelah ini. Selamanya.”  tak habis pikir lagi kenapa yang kupikirkan sekarang—mas Abhim hanya bercanda. Terlebih saat di rumahnya tadi, Ezekiel sudah memperingatiku—yang entah bagaimana bisa justru aku tak paham maksud dari ucapannya.

Mas Abhim menghembuskan napas jengah, “makanya, tadi saya bilang lihat ke saya. Biar kamu bisa lihat sendiri saya ngomong betulan atau cuma bercanda,”

“Asal kamu tahu, Mit. Saya gak pernah main-main sama yang namanya perasaan. Perasaan itu timbulnya karena rasa, bukan sebuah candaan belaka.” lanjutnya.

Kali ini aku menaikkan wajah. Berani menatapnya yang tepat berada di sampingku. Dan sialnya, ternyata jaraknya denganku hanya selebar lima senti. Dan karena aku menoleh tepat padanya, jarak itu makin mempererat kami.

Tak menjauhkan jarak kami, mas Abhim kembali berujar, “saya suka sama kamu, jauh sebelum kamu putus sama Devan,”

Ya Tuhan, bahkan aku bisa merasakan helaan napas lelaki ini.

“Waktu pertama kali antar kamu ke rumah. Waktu kamu mengajukan diri buat panggil saya Abhim. Kamu beda dari yang lain, Mit. Tapi waktu itu, saya masih berpikir itu cuma perasaan kagum semata,”

Aku benar-benar tak bisa merasakan udara di sekitar. Pasalnya, aku terlalu takut untuk menghirupnya—di jarak yang sesempit ini.

“Waktu Devan ngatain kamu, saya ngerasa gak terima. Dan kalau kamu lupa, lima minggu saya seperti orang linglung cuma ngetok pintu kamar kamu tiap hari. Sepertinya waktu itu saya sudah benar-benar jatuh hati sama kamu.”

Kali ini mas Abhim kembali mengambil jarak. Kupikir, ia sudah selesai dengan semua kata yang telah ia sampaikan. Namun buktinya, ia kembali berujar,

“Kamu mau jadi pendosa sama saya, Mit?” tanyanya.

Hah? Maksudnya bagaimana?

Mas Abhim ini agaknya sedang mabuk setengah gila. Dua detik sebelumnya ia mengutarakan perasaannya, namun barusan, ia mengajakku menjadi pendosa? Maksudnya apa?

GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang