07. Antara sebal dan debar

160 43 59
                                    

°°°

Seperti baru kemarin rasanya aku dipulangkan dengan keadaan tak sehat. Serta baru kemarin rasanya aku berkenalan dengan mas Abhim—sosok lelaki berpipi bolong yang kini tak membuatku penasaran lagi.

Tadinya, aku tak sengaja bertemu dengannya di angkringan. Dengan kejadian tak sengaja perihal es teh, dan dengan itu pula pikiranku dibuat bertanya-tanya. Namun kini terjawab sudah. Padahal aku belum sempat menanyakannya kepada Jian, justru kami di pertemukan kembali dalam kejadian tak sengaja kala bang Wira menyuruhku menemaninya ke rumah teman—yang nyatanya adalah tempat tinggal lelaki itu. Dan hampir seminggu yang lalu, ia baru saja menolongku dengan cara menjemputku kala kondisiku tak cukup stabil di sekolah.

Hari ini Sabtu pagi, secepat itu waktu silih berganti. Hingga pada pagi yang dingin kala ini aku dipertemukan kembali dengan sang pujaan hati. Seorang Devan Julian telah menanti sejak tadi kala diriku sibuk bersiap diri. Dengan secangkir kopi, ia duduk menyambangi rumah sang tambatan hati. Yaitu aku, haha terlalu percaya diri memang. Tetapi memang begitu kenyataannya.

Dengan bertengger senyum tak kalah menawan dari idola tanah ginseng yang kuidolakan—Devan mengangkat kedua tangannya bangga. Seolah bersorak atas kemenangan yang barusan ia dapatkan. Ia baru saja mengalahkan bapak dalam permainan catur pagi ini. Sedang bapak yang dikalahkannya mendengus heran. Tak habis pikir, bagaimana bisa lelaki kelahiran ibu kota itu mengalahkannya selama tujuh kali selama keduanya bermain.

Ibu keluar dari dapur. Membawa sepiring penuh tempe gimbal buatannya kala seorang Wiranata keluar dari kamarnya dengan rambut bak sarang burung serta kolor bertuliskan Avengers melekat di pahanya. Sembari menggaruk pantatnya yang entah kenapa terasa gatal, Wiranata yang bersitatap dengan ibunya dengan gerakan cepat menyambar sepiring tempe gimbal itu. Hendak membawanya ke ruang tengah dan duduk di sofa dengan rasa malas. Ia telah menyetel saluran tv dengan tayangan Doraemon kala ibu kembali memanggilnya.

“Wir, jangan di makan sendirian. Kasihkan ke bapak sama Dejun di luar sana!” sedang setelahnya wanita dengan daster bermotif bunga-bunga itu kembali kearah dapur.

Wiranata kembali menggaruk rambutnya. Hingga kini bukan lagi sarang burung yang ia nampakkan, sudah lebih buruk daripada itu—saking acak-adulnya penampilannya. Ia berjalan gontai dengan membawa piringan penuh berisi tempe gimbal itu menuju bapak dan Dejun di ruang tamu. Melenggang melewati Doraemonnya yang menanti disaksikan.

“Pagi amat kesini, Jun?” sapanya kala dirinya berada tepat di hadapan bapak dan Devan. Piringan itu ia letakkan di hadapan keduanya, di samping papan catur yang entah keberapa kalinya mereka mainkan di pagi ini.

Belum sempat Devan menjawab lelaki dengan umur tak terpaut jauh dengannya itu, namun dengan cepat bapak menyahutinya pula.

“Welah, perjaka jam segini baru bangun. Delok ki, bedone cah kehutanan karo seni, ealah, le!” ( lihat nih, bedanya anak kehutanan sama seni )

Wiranata hanya menggumam tak jelas. Tak begitu suka kala bapaknya membandingkannya dengan anak kehutanan itu. Sementara Devan tak jadi membalas pertanyaan seorang Wiranata. Dirinya hanya dibuat terkekeh akan semauran bapak dari kekasihnya itu.

“Opo loh, pak. Akuki bar ngeronda semalem.” keluh Wiranata singkat.

Bapaknya hanya bisa menggeleng, “ngeronda opo. Gaweanmu kelayapan nganti tengah wengi.” ( ngeronda apaan. Kerjaanmu kelayapan sampai tengah malam )

Setelah itu Wiranata hanya mendengus. Enggan membalas kembali ujaran dari pak Supardi. Mau bagaimanapun, pasti lagi-lagi dia yang disalahkan. Dan daripada begitu, ia lebih memilih melenggang kembali ke ruang tengah—menghampiri Doraemonnya yang sejenak ia tinggalkan.

GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang