08. Kunadhya Dhannanjaya itu, seram.

156 41 22
                                    

°°°

Sudah tidak diragukan lagi kalau bang Wira ialah anak yang jahil. Di Sabtu siang yang terik ini, dirinya tak memiliki kerjaan yang positif, hingga berakhir bertengger manis di depan etalase outletnya sendiri. Sembari menyalakan keran air di depannya, ia berjongkok dan mengarahkan air dari keran yang telah terhubung lewat selang. Sembari menunggu Jafier datang, ia sesekali melongok kearah jalanan di depan rumahnya yang terlihat kering kerontang. Maka dari itu ia berbaik hati menyalurkan sedikit air agar suasana tak terlalu panas.

Wiranata sudah mandi lima belas menit yang lalu. Sudah menyiapkan seluruh poin-poin penting dari tugas yang hendak di kerjakan hari ini bersama Jafier. Namun waktu terasa berjalan amat lambat. Jafier bilang ia akan tiba dua puluh menit kemudian—padahal Wiranata telah memoleskan pomade dan menyisir rambutnya dengan rapi sedari tadi.

Menatap jalanan di hadapannya dengan kosong pun hampa, ia hanya berpikir kapan dirinya memiliki kekasih. Mengingat kini mas Dhanan sedang keluar untuk berkunjung ke rumah sang tambatan hati. Pun adiknya, Sasmita sedang keluar pula dengan kekasih hati. Wiranata jadi gundah gulana dibuatnya. Bak awan putih yang bergerak diatas kepalanya, alias tak nampak sama sekali jika tak diperhatikan—ia tak menyadari kakaknya yang datang dari arah selatan dengan motor beat butut miliknya yang belum sempat di servis selama dua bulan.

Pip! Pip!

“Wey, bocah kurang ajar! Banyumu nyiprati rupaku, su!” mas Dhanan sontak muring-muring saat air dari selang itu mengucur tepat di wajahnya. (Airmu nyiprat ke mukaku, njing!)

Wiranata yang terlonjak kaget tanpa sadar semakin menaikkan pegangannya pada selang—membuat wajah mas Dhanan semakin basah.

Mas Dhanan tambah muring, “wuasuu, cah gendeng!” ia menurunkan standar motor matic milik adiknya dengan grusa-grusu.

Baru setelah dimaki begitu, Wiranata baru tersadar. Sejenak ia menatap mas Dhanan yang melangkah cepat kearahnya. Kemudian ia buru-buru mematikan kran air kala menyadari mas Dhanan hendak membalas perbuatan tak berdasar yang telah ia lakukan secara tak sengaja.

Kelimpungan, Wira berlari masuk kedalam outletnya. “jangan lupa cabut kunci motornya, mas! Nanti di curi orang motorku!” kemudian setelahnya ia benar-benar melarikan diri menuju lantai dua, dan bersembunyi dibalik gorden di kamarnya.

Mas Dhanan yang tadinya hendak membalas perbuatan adiknya kini berjalan membalik kearah motor butut itu. Benar kata Wiranata, ia lupa belum mencabut kunci motor. Sayang juga kalau hilang, di kuncinya ada gantungan dompet kulit berisi stnk soalnya. Keenakan yang nyuri ntar.

Kemudian setelah mencabut kunci motor, mas Dhanan masuk kedalam sembari tergopoh-gopoh. Sudah dapat dipastikan, kalau Sasmita melihatnya, pasti mas Dhanan sudah dicerca mati-matian. Persetan dengan status kakak dalam hubungan persaudaraan mereka, Sasmita tetap saja mencak-mencak. Ya bagaimana, orang mas Dhanan meninggalkan jejak air yang tetes-tetes dari bajunya. Sasmita sih sebenarnya tak menganggap sebagai masalah besar. Namun jika ibu menyuruhnya mengepel lantai, bisa semaput dia dibuatnya.

Lima menit Wiranata merasa dirinya aman sentosa dibalik gorden berwarna coklat persis di sebelah dipannya yang sama besar seperti milik Sasmita, namun terlapis dengan sprei bergambar Cars. Mau sampai kapan pun, setua apa pun dirinya—ia akan terus menjadi penggemar mobil balap berwarna merah bernomor 95 itu.

Kala dirasa situasi benar-benar aman dan mas Dhanan tak mengejarnya lagi, ia perlahan keluar dari tempat persembunyian. Namun saat menatap langsung ke depan, ia dihadapkan mas Dhanan yang menenteng kunci motornya dengan berlaga—memutarnya penuh gaya—serta bertengger lengan pada meja belajarnya. Wiranata yang bodoh, lupa mengunci pintu kamarnya.

“Hayo mau kemana?” tanya mas Dhanan. Ekspresinya mengerikan, menyiratkan sebuah balas dendam yang hebat dalam binar matanya.

Wira bergeming, menelan ludahnya lamat-lamat. Dengan gerakan cepat dan teratur, ia kembali berlari menuju pintu. Namun sia-sia saja usahanya kala mas Dhanan dengan lebih gesit menghalangi pintu kamarnya dengan tubuhnya yang bongsor.

Wiranata hanya cengengesan dibuatnya, ia menatap mata kakaknya dengan tampang memelas, “hehe, peace mas!” dengan menyodorkan dua jemari membentuk huruf v.

Namun, bukan Kunadhya Dhannanjaya namanya kalau mau mengalah begitu cepat.

Ia memiting leher adiknya dengan brutal. Membuat Wiranata yang terlonjak serta takut mengaduh lirih. “ampun, masssss! Kan gak sengajaaa!!” teriaknya memelas.

Namun ia frustasi kala mas Dhanan menyeretnya menuju kamar mandi lantai dua. Roman-romannya, mas Dhanan akan membalas dendam.

“Ya Allah akuki wes ganteng. Pomadeku larang mas, eman-eman!” Bukannya apa, namun kala ini Wira sudah selesai mandi. Sudah selesai pula mematut dirinya di cermin, dengan polesan pomade yang lumayan banyak. Kalau di guyur mas Dhanan, kan sayang pomadenya. Mahal bro, merek ternama—bahkan sudah rekomendasi dari youtuber favoritnya. (Ya Allah, aku tuh udah ganteng. Pomadeku mahal mas, sayang.)

Dan benar saja, dengan cepat mas Dhanan mengguyurnya di kamar mandi. Tak cukup seember besar, mas Dhanan menghabiskan satu bak hingga tandas. Alhasil, Wira hanya bisa meringis—antara dingin dan masih sayang sama pomadenya.

“Tak andakne ibuk bar iki, delok wae!” sebalnya dengan wajah tertekuk. (Aku bilangin ibuk habis ini, lihat aja!)

Mas Dhanan mendecih, namun masih saja mengguyur Wira. “cih, andak-an!” (dih, cepu)

°°°

Bersambung...

Mas Dhanan

Mas Dhanan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bang Wira

Secuil jejak means a lot

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Secuil jejak means a lot. Ayo dong klik vote biar semangat :( ngeliat views sama votenya jauh bgt bikin gak mood

GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang