02. Tak sempat bertanya

392 79 62
                                    

°°°

Pukul setengah 4 sore hari, selepas diriku dan Jian menunaikan ibadah sholat Ashar. Setelah menonton anak-anak melakukan ekstrakurikuler teater—setelah 5 jam berlatih dan setengah jam digunakan untuk ishoma—akhirnya ekstrakurikuler teater hari itu selesai dilaksanakan.

Kami duduk di pos satpam yang terletak di dalam Taman Budaya—tepatnya persis di sebelah gerbang masuk—sembari menyemil bakso tusuk tiga ribuan yang Jian beli di depan toko Remujung. Netraku mengeksplor bangunan berwarna putih yang terlihat kokoh itu. Segerombolan orang sedang berlatih teater juga di dalam, sedang kulihat beberapa mahasiswa berjalan keluar gedung—menuju kami—atau lebih tepatnya berjalan menuju gerbang.

Netraku terus saja menyelami seorang pemuda dengan kamera dslrnya yang terkalung di leher. Ah, hampir lupa. Itu lelaki yang menyerobot antrian di angkringan tadi.

Sebelum aku melupakannya lagi—karena bisa dibilang, aku benar-benar gadis pelupa—tanpa babibu kumantapkan diriku untuk bertanya kepada Jian perihal lelaki itu.

"Ji-"

"Mita, udah di jemput tuh!"

Sial, baru saja diriku hendak bertanya.

Jian bangkit dan mengenakan cardigan berwarna milo yang sebelumnya ia tenteng di sebelah kiri lengannya.

Ia dengan cepat mengeluarkan ponselnya dari saku celana bahannya, "aku pesan ojol sekarang ya."

Aku mengangguk mengiyakan ucapannya. Sementara diriku ikut bangkit dan melongok kearah depan gerbang masuk Taman Budaya—dimana lelaki dengan raut wajah dongkol menatapku lamat-lamat.

Aku terus saja memperlihatkan kelima jemari tangan kananku dan berujar 'sebentar' kepada lelaki tak sabaran itu. Dan begitu pula dirinya yang terus saja memberi gerak-gerik mengetukkan telunjuk tangan kanan ke jam tangan miliknya sembari berujar tanpa suara 'buruan'.

Jian yang melihatnya menepuk bahuku pelan, "duluan aja, ojolku sudah hampir datang kok."

Yang benar saja, Jian baru saja menunggu jemputanku tiba dan baru memesan ojek setelahnya. Masa aku tega meninggalkannya?

Melihatku yang tak bergeming dan justru menatapnya dengan enggan, dirinya terekekeh ringan.

"Buruan sana, Dejun udah nungguin tuh!" serunya sembari mendorong punggungku agar segera menjauh.

Aku menatapnya iba dan merasa amat bersalah tentunya, "maaf ya?"

Jian mengangguk mantap, "gak apa-apa, Sasmita. Aku bisa memaklumi kalau pacarmu itu tidak bisa menunggu."

Ah, dasar Jian aku jadi makin tak enak hati dibuatnya.

"Ok. Duluan ya!"

Sedang Jian melambaikan tangannya dan memberi gerakan seakan mengusir bebek kepadaku.

"Anyway, makasih banyak udah nemenin latihan!!" serunya saat diriku sudah membonceng motor ninja milik kekasihku.

Aku hanya mengangguk dan membalas lambaian tangannya. Sementara itu lelaki di depanku membunyikan klakson dan mulai menancapkan gasnya.

Aku mempererat genggamanku pada jaketnya. Kemudian dengan cepat ia membenarkan posisi lenganku—sehingga posisiku saat ini benar-benar memeluk perutnya dengan dagu yang menempel pada bahunya yang lebar.

Ia melajukan motor ninjanya cukup pelan. Berbelok ke sebelah barat sehingga melewati Pasar Beringharjo yang mulai sepi di sore hari.

Ah, aku sampai lupa memperkenalkannya.

GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang