°°°
Setelah kiranya 30 menit terduduk di atas jok motor dengan pantat yang lumayan pegal tentunya—kami—aku dan Devan sampai di depan warung pecel lele pinggir jalan—tepatnya di bagian utara pagar gedung Graha Sabha.
Aku melepas alas kakiku, sedang Devan berniat memesan, "kamu pesan apa, yang?"
"Pecel lele dong!" jawabku saat kedua alas kakiku telah terlepas dan berniat duduk lesehan di tikar yang telah di gelar.
Entah Devan lupa atau bagaimana, tetapi pecel lele adalah makanan favoritku, dan bisa dibilang ini bukan kali pertama kami makan disini.
Tak lama, ia menghampiri setelah memesan dan melepas kedua alas kakinya. Kemudian ia duduk di sebelahku dengan tenang sebelum kepalanya berbaring menumpu di pahaku.
Ah, anak ini memang benar-benar tidak tahu tempat. Untung saja suasana tempat kami duduk sedang tak banyak orang—hanya ada kami dan dua pembeli lain yang sedang menikmati makan—ditambah lampu kota yang remang-remang, sepertinya akan mati dalam waktu dekat.
Aku menepuk pelan rambutnya kala matanya terpejam. "Kamu lupa ya? Aku kan ngga pernah pesan menu lain selain pecel lele."
Tak seperti dugaanku, ia justru tersenyum ringan dan membuka kedua kelopak matanya—membuat pandangan kami bertemu antar satu sama lain.
"Siapa tahu bosan? Mau coba menu yang lain misalnya?" kekehnya ringan.
Ah, aku kira tidak hafal.
Aku menggeleng, masih menatap manik matanya yang tepat berada di bawahku, "gak mau. Aku cuma suka pecel lele."
"Kalau aku gimana?" tanyanya jahil. Ia terus saja menatapku—membuatku mengalihkan pandangan.
Tak menatapnya, aku pun berujar lirih, "ya.. suka-lah. Kok masih ditanya."
"Apa, Mit? Aku gak dengar." bukannya berhenti, ia justru makin menggodaku.
Bikin gerah saja. Untung aku tidak gampang kepanasan—ya, walaupun bisa ditebak seluruh pipiku sudah berwarna seperti tomat.
"Ah, gitu aja kesemsem," jawabnya sembari menoel pucuk hidungku.
Mentang-mentang sudah 4 tahun di Jogja. Mentang-mentang sudah bisa bahasa Jawa, bahasanya jadi campur-campur begitu.
"Permisi Mas, Mbak," sapa seorang pengamen dengan ukulele berwarna matte di genggamannya.
Devan buru-buru bangun dari tidurnya kala pengamen itu menggenjreng ukulelenya. Ia buru-buru mengeluarkan selembar uang dua ribuan dan mengulurkannya.
"Ih, dia kan belum selesai nyanyinya?" kesalku sembari menjotos lengannya pelan.
Devan berdecak, "biar cepet, ganggu orang pacaran aja lagian."
Tak dipungkiri, senyumku mana bisa kutahan. Hanya sebatas itu saja sih, namun sudah membuatku terbang tinggi bak burung camar.
Tak selang lama, Si bapak penjual mengantar air kobokan dan juga dua lele dengan sambal yang tersaji—satunya lele goreng, satu lagi lele bakar—punya Devan tentunya.
"Oh iya, minumnya apa Mbak, Mas? Sampai lupa saya gak nanya," ujar Si bapak selagi meletakkan piring plastik berisi lele itu.
"Es jeruk dua, Pak." jawab Devan dengan mantap. Kali ini ia tak bertanya padaku lebih dahulu.
Tanpa aba-aba aku mencuil lele bakarnya dengan bagian atas yang gosong—terkena api pembakaran.
"Aduh!!" entah ini karena panas atau karena Devan menabok lenganku sedikit keras—sehingga potongan lele itu terjatuh.
Aku menatapnya sebal. Dasar Devan medit.
Sedetik kemudian, ia mengambil lenganku—mengelus bagian yang baru saja ia tabok. "duh, maaf, Mit."
"Lagian, main nyelonong ambil aja. Bagian itu tuh gak boleh di makan, bikin kanker tau gak? Lagian kamu belum cuci tangan. Jorok banget jadi cewek." jelasnya panjang lebar—masih mengelus bagian lenganku yang kena tabok sebelumnya.
Namun aktivitasnya ia hentikan kala Si bapak datang membawakan dua piring nasi lengkap bersama es jeruk.
Devan menghela napas kala tangan kanannya mengobok-obok air di mangkuk yang telah di sediakan sebelumnya. Membuatku yang sedang melakukan hal serupa meliriknya.
"Kenapa?"
Ia masih terus saja mengobok air di mangkuknya sebelum menjawab, "masih pengen pacaran, tapi makanannya udah dateng."
Serta merta tangan yang tadinya siap untuk kugunakan makan kualih gunakan untuk menabok pahanya.
Anak ini, bisa saja membuatku malu tak ketulungan.
°°°
Hehe, gimana? Uwu tidak? Jelas tidak karena ini mas Devan not Uwu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GATA ABHIMANYU ✓
Fanfiction[COMPLETED DAN BELUM REVISI] "Kenapa nama-mu Abhimanyu? Seperti tokoh pewayangan saja." itulah kalimat yang berulang kali kutanyakan padanya kala raganya masih dapat kurengkuh erat. Ia selalu menggeleng, "saya gak tahu. Akan saya beri tahu kalau say...