°°°
Malam dimana diriku makan terang bulan dengan hati berdebar bersama Devan—dengan segala bentuk perlakuannya yang menyejukkan—resmi berlalu, berganti menjadi hari esok yang tak kunanti. Siapa juga orang yang akan menantikan hari paling menyebalkan di seluruh dunia. Hari Senin, dimana aktivitas kembali dilakukan. Namun walaupun merasa amat sangat malas akan pergantian dari hari Minggu ke Senin, tetap saja aku harus menjalani rutinitasku seperti biasanya.
Namun bukankah setelah hari Senin adalah Selasa, kemudian Rabu setelahnya Kamis, Jumat kemudian Sabtu dan lagi-lagi Minggu. Itu semua hanya soal waktu.
Hari ini bang Wira terlambat mengantarkanku ke sekolah. Seperti biasanya, ia akan tidur hingga siang hari—mepet bangun dengan jam kuliahnya dilakukan. Ia selalu seperti itu jika mendapat kelas siang. Dan sialnya, hal itu berefek buruk padaku. Lagi-lagi aku terlambat ke sekolah. Dan sialnya, aku lupa tak membawa topi untuk upacara. Sialan, ini semua salah bang Wira.
Mau tak mau aku berdiri paling depan—menghadap kepada kepala sekolah yang berdiri didepan mimbar—bersama beberapa murid lain yang tak mengenakan topi pun dasi. Terik semakin menyingsing kala bapak Hadi—selaku kepala sekolah memberikan pidatonya—yang bisa dibilang tak singkat. Ia berulang kali menyinggung kami yang berdiri di hadapannya, tanpa mendengar banyak murid yang berdecak kesal karena beliau tak kunjung menyudahi kalimat-kalimat yang tak ayal masuk telinga kiri keluar telinga kanan.
Aku hanya mendecak lirih—menunggu bagaimana lelaki tua dengan beberapa rambut yang telah memutih itu mengakhiri kalimat-kalimatnya.
Aku mundur beberapa langkah kebelakang kala rasa pusing teramat menyiksa. Rasanya duniaku serasa di putar, bagai naik komidi putar. Pandanganku buram dan tiba-tiba saja menggelap. Dan selanjutnya yang aku rasakan—hanya deru napas yang menggebu dan kekuatan tak setimpal yang berusaha menegapkan badan—namun tak ayal, aku justru terjatuh lunglai di tanah lapangan. Oh dan apa sekarang, sepertinya vertigo serta darah rendahku kumat.
Derap langkah buru-buru terdengar dari indera pendengarku. Namun rasanya, mataku benar-benar tak bisa membuka—seolah di depanku kala ini hanya gelap yang menyerbu. Kemudian tak lama, badanku berasa terangkat. Benar saja, aku di gotong menggunakan tandu oleh beberapa anak PMR.
Beberapa saat aku tak sadarkan diri. Hingga tangan lembut seorang wanita menepuk pipiku dengan pelan. Serta aroma minyak kayu putih yang berpendar di area hidungku—membuatku terbatuk kala menghirupnya dalam-dalam. Kemudian dengan mata yang terasa berat, aku membuka kedua kelopak mata dan mengedarkan pandangan. Semuanya putih bersih—dan aku baru tersadar saat ini diriku berbaring di ranjang UKS.
Wanita di hadapanku yang tak lain dan tak bukan ialah bu Siti—guru bahasa indonesia yang mengajar kelas XII—mengulurkan segelas teh hangat kepadaku.
"Di minum dulu, Mit," ujarnya tersenyum ramah.
Aku menegakkan badan, berharap dapat terduduk tegap dan meminum teh yang beliau berikan. Namun rasanya tubuh sungguh lemas luar biasa.
Melihat diriku yang kesusahan untuk menegakkan badan, beliau kembali membantuku. Tangannya mengelus punggungku dengan lembut, kemudian kembali mengulurkan segelas teh hangat itu.
Tanganku bergetar kala menerimanya. Bahkan untuk meminumnya saja aku kesusahan. Rasanya seluruh isi perutku hendak keluar, padahal tadi pagi aku tak sempat sarapan. Bukan hanya darah rendah dan vertigo, sepertinya asam lambungku juga kumat.
KAMU SEDANG MEMBACA
GATA ABHIMANYU ✓
Fanfiction[COMPLETED DAN BELUM REVISI] "Kenapa nama-mu Abhimanyu? Seperti tokoh pewayangan saja." itulah kalimat yang berulang kali kutanyakan padanya kala raganya masih dapat kurengkuh erat. Ia selalu menggeleng, "saya gak tahu. Akan saya beri tahu kalau say...