16. Lempuyangan sore itu

119 25 22
                                    

°°°

“Hah? Mas Abhim ngapain nyari aku?” aku menatap lelaki di hadapanku dengan heran.

Mas Dhanan yang geram sontak saja menyuruhku untuk duduk, “duduk dulu, Mit!”

Menuruti mas Dhanan, aku duduk di sampingnya. Kembali kutatap lelaki itu, namun pandanganku malah fokus kepada bang Wira yang berdiri dengan tatapan menyelidik di pintu depan.

Tak mau meladeninya, aku kembali menatap teman abangku itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Jafier Ananta Abhimanyu duduk dengan anteng dengan hoodie-nya. Tersenyum kikuk yang melihatku memandanginya secara menyeluruh.

“Jadi, ada perlu apa cari Sasmita?” tanyaku akhirnya.

Dirinya masih tersenyum dengan kikuk. Menatap beberapa pasang mata yang menatapnya. Mas Dhanan dan bang Wira yang sama penasarannya mulai kembali menatap lelaki itu penuh selidik.

Seperti di interogasi, mungkin begitu batin Jafier.

“Emm, cuma, emm anu...” jawabnya dengan bingung. Jafier jadi kehilangan kata-kata.

“Anu apa?” sedang diriku yang masih penasaran setengah mati masih memaksanya berbicara dengan jelas.

Jafier sekilas melirik kedua kakakku. Kemudian baru aku sadar, dirinya tak mau kedua kakakku itu ikut serta dalam obrolan kami.

“Mas Dhanan sama bang Wira, minggir dulu boleh?” ujarku dengan pelan.

“Eh??” bang Wira kaget bukan main. Entah apa yang membuatnya seperti itu.

Sedang mas Dhanan buru-buru berdiri, “oh iya, ngapain mas disini?”

Mas Dhanan keluar rumah, menyenggol lengan bang Wira yang ada di pintu, “ayo keluar,” ajaknya.

Namun bang Wira menggeleng dengan cepat, “kalian main rahasia apa?” tanyanya sebal.

“Bukan rahasia, kan mas Abhim mau ketemu Sasmita bukan bang Wira,” jawabku asal.

Bukannya segera keluar, bang Wira justru memandangku kesal. “Wah, parah Sasmita, sekarang mainnya nikung abang!” ia menggeleng-gelengkan kepala seolah tak menyangka.

Aku yang kebingungan menatap mas Abhim, sedang mas Abhim yang sama bingungnya menatap bang Wira dengan pandangan bertanya.

“Gak nyangka, kamu sekarang gak mau temenan sama Wira, maunya sama Sasmita, Jep!!” lanjut bang Wira dan dengan cepat berjalan keluar sembari menghentakkan kakinya.

Aku melongo, mas Abhim terpingkal hingga menepuk kedua pahanya. Aneh-aneh saja spesies yang satu itu.

“Jadi, ada perlu apa, mas?” tanyaku.

Mas Abhim yang belum menghentikan tawanya sontak langsung terdiam, “eh?” bingungnya.

“Oh iya, katanya mau ikut saya jalan-jalan waktu itu,” lanjutnya tersenyum sumringah.

Aku mengedarkan pandang ke ternit rumah. Jalan-jalan ya? Waktu itu? Kapan?

“Waktu beli es tape,” lanjutnya lagi seolah mengerti apa yang sedang kupikirkan.

GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang