°°°
Siang itu aku pulang ke rumah membawa sekantung plastik berisi rujak es krim. Hanya membeli satu, sebab hanya ibu yang menitip. Kalau beli banyak-banyak dan tidak dimakan, sayang, mubazir.
Devan langsung pamit pulang kala mengantarku. Ia harus segera ke kampus untuk mengurus beberapa hal katanya, entah apa itu. Yang aku tahu sih, dia wakil ketua himpunan, jelas kalau sibuk. Tapi bagusnya, ia mau meluangkan waktu untukku.
Aku berjalan ke dapur, hendak meletakkan rujak es krim itu di meja makan, namun aku justru menemukan ibu yang sedang mengaduk gula yang belum larut pada teh hangat yang baru saja ia buat.
“Tumben, siang-siang minum anget. Ibu sakit?” heran, kalau ibu sakit—percuma dong rujak es krimnya.
Namun ibu menggeleng tanpa menatapku, masih khidmat mengaduk gula yang belum larut dengan sempurna. “abangmu tuh, masuk angin.” ia memberikan gelas berisi teh itu kepadaku.
“Tolong kasih ke kamarnya sekalian ya, Mit. Ibu mau makan rujaknya,” ujarnya dengan gelas yang ia sematkan di jemariku. Hah, pemaksaan.
Aku hanya berdeham malas sedang ibu mengacungkan jempolnya padaku. Ia berjalan menuju rak piring untuk mengambil mangkuk, kemudian tanpa mengalihkan pandang kembali, aku berderap naik ke lantai dua. Melongok ke kamar bang Wira yang tepat berada di seberang kamarku. Nampaknya ia tak sendirian, karena dengan samar aku dapat mendengar jelas ia bersungut-sungut—entah sedang membahas apa.
Aku menyembulkan kepala dan mengetuk pintu yang terbuka lebar di hadapanku. Terlihat bang Wira bergumpal di balik selimut tebalnya. Seluruh tubuhnya terbungkus dengan sempurna, bahkan wajahnya hampir tak terlihat. Bentuknya semacam cacing besar alaska.
Aku mengedarkan pandang. Dan benar saja bang Wira tidak sendirian. Di seberangnya duduk lelaki yang belakangan ini kerap kali kulihat sedang mengerjakan tugas bersama bang Wira. Ia duduk beralaskan karpet bludru—pandangannya terfokus pada layar laptop di depannya. Sedikit menunduk kulihat—karena postur tubuhnya yang tinggi dan berisi—kebalikan dari bang Wira yang kurus kerempeng macam tengkorak. Sepertinya meja yang disediakan bang Wira turut membuatnya terlihat menunduk, padahal kalau bang Wira yang duduk dengan pose begitu, aku bakalan acuh saja.
Mereka sontak menoleh kearahku kala kuketuk pintu kamarnya dua kali. “teh dari ibu, bang.” aku mengulurkan gelas berisi teh hangat itu tanpa berniat masuk.
“Taruh situ tuh! Meja sampingnya Jepri!” titah bang Wira, ia menunjukkan posisi dengan kaki kanannya.
Mau tak mau, sebagai adik yang baik hati dan penurut—jika ada tamu saja, sih—aku menjejakkan kaki dan melangkah kedalam kamar bang Wira. Katanya sih, anak itu beli pomade dengan merk ternama—mahal katanya—namun yang tercium di kamarnya hanya bau gatsby semata.
“Loh, satu doang?” tanyanya mengernyit heran.
Aku mengangguk. Ibu hanya membuatkan satu tuh, apa ibu tidak tahu kalau ada mas Abhim disini ya?
“Abang kenapa kok tiba-tiba sakit? Perasaan tadi pagi masih sehat-sehat aja.” sebelum meninggalkan kamar lelaki itu, kusempatkan diri untuk bertanya.
Ia menguap, terlihat mengantuk. Sedang mas Abhim hanya menoleh sekilas—kemudian kembali berkutat pada layar laptop di hadapannya.
“Gara-gara mas Dhanan tuh! Masa abang di guyur!” jawabnya dengan raut wajah sebal yang sangat kentara.
Aku hanya ber-oh singkat. Tak berniat menanggapinya lagi. Karena bisa dibilang rutinitas sih. Mas Dhanan kalau sudah ada di rumah kerjaannya pasti bertengkar sama bang Wira. Entah apa itu masalahnya, masalah kecil pun di besarkan. Yang jelas, mereka saling tak mau mengalah—dan suka membalas dendam tentunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GATA ABHIMANYU ✓
Fanfiction[COMPLETED DAN BELUM REVISI] "Kenapa nama-mu Abhimanyu? Seperti tokoh pewayangan saja." itulah kalimat yang berulang kali kutanyakan padanya kala raganya masih dapat kurengkuh erat. Ia selalu menggeleng, "saya gak tahu. Akan saya beri tahu kalau say...