22. Abhimanyu, Kreshna dan filosofi

111 23 11
                                    

°°°

Langkahku berjalan mengikuti pria paruh baya yang berjalan tak begitu cepat di depanku. Memasuki rumah, kami melewati ruang tamu dengan sofa berwarna kelabu yang beberapa waktu lalu pernah kududuki bersama bang Wira. Kala itu aku hanya mengantar bang Wira untuk mengambil card yang terdapat video untuk tugas bang Wira—kalau kalian lupa.

Setelah ruang tamu, terdapat lorong penghubung antara kamar dan dapur, di ujung lorong terdapat guci marmer berisi bunga kering setinggi dada orang dewasa. Kuyakini itu milik ibunya mas Abhim—melihat bagaimana pekarangan rumahnya terisi penuh tanaman, beliau pasti senang berkebun.

Kemudian setelah itu kami melewati kamar—yang kuyakini milik Ezekiel—yang tak tertutup rapat.

“Ayah mau kemana?” pemilik kamarnya keluar dengan segera. Menjeblakkan pintu kamarnya hingga terbuka lebar.

Ezekiel melongok dengan wajah kesal saat pandangan kami bertemu. Aku tak tahu kenapa ia masih saja menatapku dengan pandangan seperti itu. Barangkali ia tak senang aku dekat dengan kakaknya karena umur kami setara.

Ayahnya tak repot-repot menoleh ke belakang hanya untuk melihat si bungsu, beliau justru terus berjalan ke depan sembari berseru, “mau pamer buffett ke Sasmita.”

Tentu saja jawaban itu membuatku terkikik geli. Namun Ezekiel justru berdecak dan mengikuti langkah kami di belakangku.

Tak selang lama, kami sampai pada ujung lorong. Terdapat buffett kaca di sudut, penempatannya di sebelah guci persis, tetapi tak terlihat dari ujung depan karena sudut ruangan yang sedikit melengkung ke dalam.

Aku melihat beberapa wayang di dalam rak kaca yang menjulang setinggi kepala. “yang itu—yang paling ayah sayang. Abhimanyu sama Kreshna.” tutur pria itu sembari menunjuk ke dalam buffett.

“Bukannya itu nama mas Abhim sama Ezekiel?” tanyaku bingung kala menemui nama kedua wayang itu sama.

“Memang. Filosofi bocah-bocah itu ya, dari wayang ini.” jelasnya dengan senyum jumawa.

Ezekiel mendecak di sampingku. Entah sejak kapan dirinya sudah berada disitu, aku bahkan tak melihat kehadirannya sejak tadi.

“Tapi ayah lebih sayang sama wayang daripada Kiel sama mas,” lelaki itu merengut. Kalau boleh jujur, ia kelihatan gemas sekali. Pasalnya, di sekolah dirinya berlaga sebagai sosok cowok cool dengan banyak pengagum serta dipuja oleh semua adik kelas berkelamin perempuan.

Ayahnya hanya terkekeh, kemudian pergi meninggalkan kami berdua saja. “ayah ke kamar dulu ya,” ujarnya kala berlalu.

Hanya tersisa aku yang berusaha mengabaikan Ezekiel dengan terus-menerus menatap kaca buffett. Namun aktivitas itu berhenti kala lelaki di sampingku berdeham.

“Sebetulnya, kamu dekati kakak saya itu dengan tujuan apa, Mit?” hal itu sontak saja membuatku menatapnya.

Aku menatapnya dengan bingung. Apakah dia berpikir bahwa kedekatanku dengan kakaknya hanya karena punya maksud dan tujuan tertentu?

Namun aku bergeming, menatapnya dengan pandangan tak habis pikir.

“Kalau kamu dekati mas Jafie karena rasa kasihan, mending kamu menjauh  saja. Kondisi mas Jafie gak se-memprihatinkan itu sampai harus kamu kasihani.” lanjutnya dengan tatapan menyalang tepat di mataku.

Aku bahkan tak mengerti apa yang ia maksud dengan mengkasihani. Maksudku, memang sebetulnya mas Abhim itu kenapa? Kenapa adiknya bisa berpikiran demikian padaku?

Namun sebelum aku bertanya padanya, lelaki yang barusan kami bicarakan itu muncul dari salah satu ruangan. Menampilkan tatanan rambutnya yang kini ia naikkan—hingga terlihat jidatnya yang sedikit kemerahan—entah karena habis terpentok tembok atau bagaimana.

Ia dengan cepat menggenggam lenganku. Membuatku berjalan mengikutinya melewati Ezekiel. Sedang Ezekiel, yang anak itu lakukan hanya mendecih kala menatapku berlalu.

°°°

Mas Abhim memutar dan berbalik menghadapku. Kedua tangannya beralih memegang kedua bahuku, “kamu gak di apa-apain sama adikku, kan?”

Belum sempat menjawab, lelaki itu kembali membombardirku dengan pertanyaan, “gak kenapa-kenapa kan?”

“Apanya yang sakit? Coba bilang.” hal itu tentu saja membuatku terkekeh geli.

Tanganku beralih menepuk kedua tangannya yang masih berada di bahuku. “gak pa-pa. Memangnya kenapa?”

Ia melepaskan kedua tangannya pada bahuku, kemudian mulai menjauhkan diri disertai beberapa kali gelengan.

“Kamu tahu taman Kaliurang, kan?” tanyanya kali ini.

Aku mengangguk. Sedang dirinya menatapku dengan sumringah, “ayo kita kesana.”

°°°

Bersambung...

GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang