°°°
Celana kolor selutut itu kotor bukan main. Juga, kulit tangan dan kakinya yang putih ternoda dengan lumpur. Namun seolah tak terjadi apapun pada lelaki itu—ia hanya terkekeh seraya menggaruk kulit kepalanya yang tak gatal, kemudian mulai bangkit berdiri. Jalan sedikit terseok kepadaku yang melihatnya tanpa beralih dari pintu pagar.
“Mita, ngapain kesini?” tanyanya begitu sampai di hadapanku. Ia membuka pintu pagarnya dengan telapak tangan yang penuh dengan lumpur.
Pria paruh baya yang duduk tak jauh di belakangnya hanya menyawang dengan tatapan—entah apa itu, mungkin, speechless. Namun beliau hanya memantau putra tertuanya dari kursi teras, sembari membawa gitar yang diletakkan Jafier dengan asal.
“Aku ...” menatap raut wajahnya yang bingung, dengan bibir yang terlihat pucat dan pakaian kotor terkena lumpur—karenaku, lagi.
Katakanlah Sasmita Anindyaswari adalah makhluk terkejam di alam semesta. Pasalnya, aku sudah mengabaikan lelaki di hadapanku selama lima minggu, membuatnya sakit dan kali ini membuatnya terjatuh di genangan lumpur.
“Maafin Sasmita, mas,” suaraku bergetar kala memandang rupa menawannya. Bibirnya tak terlihat semerah biasanya—tentu saja lelaki itu masih sakit.
Ia justru menatapku dengan raut kebingungan. Melihat anak gadis yang menangis di hadapannya—mungkin ia terlalu terkejut melihatnya.
Akhirnya ia beralih mengusap bahuku, “kenapa?” tanyanya dengan suara lembut.
Semakin kencang tangisanku kala mendengar suaranya yang sedikit lemas, “mas Abhim sakit gara-gara Sasmita, kan?”
“Maaf,” ia mendekapku kala dirasa bahuku semakin bergetar dengan tangan yang menagkup pada seluruh bagian wajah.
Kembali ia menepuk pelan punggungku, “bukan salah Mita, kok. Jangan nangis. Gak malu apa dilihatin ayah saya?”
Ah, benar. Ada pria paruh baya yang sedang menonton adegan kami barusan dari teras rumah.
Semakin saja kututup muka menggunakan kedua telapak tangan. “aduh, malu.” rengekku.
Sedang mas Abhim terkikik geli di hadapanku. Kemudian jemarinya beralih ke lenganku untuk dijauhkan dari wajahku. Ia mengusap pipiku yang basah dengan air mata. Tadinya, semuanya berjalan semestinya—sebelum aku teringat—jemarinya penuh dengan lumpur.
“Eww... Tangannya penuh lumpur!” kujauhkan tangan laknatnya dari pipiku, kemudian sedikit mendorong badannya hingga tersaruk mundur. Untuk itu, makin terkikik pula seorang Jafier.
°°°
Aku berakhir duduk di teras rumah dengan pria paruh baya yang disebut mas Abhim sebagai ayahnya. Sebenarnya aku merasa sedikit kaku dan khawatir jika beliau berpikir yang tidak-tidak padaku. Namun pikiran itu berhasil tandas kala dirinya berceloteh dengan disertai gurau.
“Kamu tahu, Mit, lagu yang dinyanyikan Abhimanyu tadi?” pandangannya lurus ke depan—menatap pekarangan rumahnya yang terdapat semak mawar hampir mekar mengitari kolam ikan.
Sebelumnya, beliau sudah bertanya siapa namaku dan dimana diriku tinggal. Hal itu yang membuat jantungku terpompa lebih cepat—karena takut dan kikuk tentu saja. Namun beliau hanya mengangguk dengan senyum jumawa kala mas Abhim menyebutku sebagai adik dari Wiranata. Agaknya, abangku itu sudah sering kemari—hingga keluarga ini mengenalinya dengan baik.
Aku mengangguk, menatap pria tambun itu sekilas sebelum menaruh pandang kepada semak mawar yang sedang beliau perhatikan. “Pernah dengar di radio bapak.”
Beliau mengangguk beberapa kali, “itu lagu legendaris, Mit. Lagu kesukaan ayah sama Abhimanyu,”
Kupikir hanya aku yang memanggil seorang Jafier dengan nama belakangnya—ternyata, ayahnya pun sama.
“Oh ya??” aku tertarik mendengarnya. Sejenak beliau menghembuskan napas panjang—bersiap untuk bercerita kepadaku selagi menunggu mas Abhim yang sedang berganti baju dengan yang bersih. Sedang wajahku yang tadinya terkena lumpur ulah mas Abhim—sudah kubasuh dengan air keran yang ada di dekat kolam ikan.
“Itu lagu tahun 1977, tapi kejadian legendarisnya tahun 80an. Waktu ayah ketemu sama bundanya Abhimanyu di Lenteng Agung,”
“Orang jaman dulu, Mit, kalau cari kerja itu, banyak yang merantau. Dulu ayah cuma jadi kuli pabrik. Kebetulannya, bundanya Abhimanyu juga kerja di sana. Kami ketemu hanya waktu istirahat, itu juga diam-diam. Karena kamu tahu, Mit, ayah ini dulunya banyak yang naksir—nanti banyak yang putus cinta kalau tahu sudah punya hubungan sama bundanya Abhimanyu itu.”
Aku mengamati pria itu lamat-lamat. Sesekali perut buncitnya terlihat naik turun kala menarik napas. Gitar yang tadinya berada di pangkuannya sudah beliau letakkan di sebelah kursi—menyandar pada tembok marmer. Binar matanya kentara—mengawang—mungkin mengingat bagaimana kejadian kala itu.
“Waktu sudah punya cukup uang, kami kembali ke Jogja. Beruntungnya, kami satu kota, Lasmi di Kotagede dan ayah di dekat Plengkung Gading. Ya begitu, Mit, jodoh itu gak kemana.”
“Ayah cerita apa?” dengan tiba-tiba Ezekiel menyembul keluar dari pintu utama. Ia membawa gelas berwarna hijau yang kuyakini berasal dari air sirup di dalamnya.
Pria dengan kaos singlet itu terkekeh kepada putra bungsunya, “biasa, lagu kesukaan ayah sama masmu, Na.”
Bocah berumur sebaya denganku itu hanya mengendikkan bahunya. Meninggalkan gelas dengan warna hijau yang di bawanya di atas meja kayu—tepat di sampingku—tanpa berbicara apapun.
“Kreshna memang begitu, beda sama masnya—Abhimanyu,”
“Ayo di minum, Mit.” beliau menepuk bahuku—mempersilahkan jamuannya untuk di minum.
Setelah menyeruput air sirup berperisa melon, aku kembali menatap pria ini dan bertanya, “ayah, suka dunia pewayangan ya?”
Entah kenapa aku memanggilnya demikian. Mungkin karena beliau yang selalu memanggil dirinya sendiri dengan kata ayah—membuatku ikut memanggilnya demikian.
“Mau lihat koleksi ayah? Ayo masuk.” beliau berdiri dan bergegas mengajakku masuk kedalam rumah.
°°°
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
GATA ABHIMANYU ✓
Fanfiction[COMPLETED DAN BELUM REVISI] "Kenapa nama-mu Abhimanyu? Seperti tokoh pewayangan saja." itulah kalimat yang berulang kali kutanyakan padanya kala raganya masih dapat kurengkuh erat. Ia selalu menggeleng, "saya gak tahu. Akan saya beri tahu kalau say...