°°°
“Ngapain liat-liat?!” aku menatap lelaki dengan balutan kemeja flanel dengan kaos polos berwarna hitam di dalamnya, kala ini ia tengah duduk dan menyantap basrengnya dengan pandangan yang mengarah kepadaku.
Ia mengernyit, menatapku dengan pandangan heran. “kamu seperti penjual bakso yang saya beli kemarin sore, Mit,”
“Tapi saya gak lagi ngelihatin kamu.” lanjutnya setelah memberi jeda yang cukup singkat.
Oh, aku mulai mengerti sarkasme yang ia berikan. Walaupun raut wajahnya biasa saja, tetapi kentara sekali kalau dirinya barusan menyatakan sarkas secara terang-terangan.
Jangan menunduk. Kata Mas Dhanan gak usah malu kalau kepedean—malunya kalau malu-maluin aja. Masalahnya, saat ini merupakan momen yang cukup memalukan. Ah, santai saja, ini cuma mas Abhim. Ya tapi tetap saja, rasa malunya membuncah, sudah terlalu percaya diri, nyatanya mas Abhim sedang melihat kearah penjual balon gas di belakangku.
Namun terlepas dari rasa malu yang terasa amat kentara dalam diriku—pun wajah yang memerah karena merasa panas—aku menyukai untaian kata-nya. Terkesan halus dan tak bermaksud menghina, walaupun aku tahu betul arti sebenarnya. Namun seorang Jafier Ananta Abhimanyu harus tetap dipuji akan hal itu. Ia bisa saja terus terang berkata jika aku terlalu percaya diri, namun ia tak mengatakannya. Dan untuk itu, rasa-rasanya diriku teramat sangat ingin untuk mengatakan kalimat pujian kepada kedua orang tuanya yang sudah membesarkan seorang Abhimanyu menjadi sosok berhati tulus dengan ucapan lembut bak bulu Lonte—kucingku dulu.
Selanjutnya ia terkekeh ringan, membuat siapapun yang melihatnya merasa amat sangat tentram. “Mita tahu es tape?”
Aku mengangguk, “tau, tapi belum pernah cobain sih.”
Ia menatapku dengan pandangan tak percaya. Mungkin pikirnya, aku telah menyiakan minuman enak itu dengan tak pernah mencicipinya. “yaudah kalau gitu, saya beliin yuk,” ajaknya sembari bangun dari kursi kayu.
“Loh sekarang?!” ia hanya mengangguk mantap. Padahal aku belum menyetujui tawarannya, namun ia sudah kelihatan berbinar tanda semangat.
“Kan masih jaga pameran?” benar, kami masih menjaga pameran di JNM 15 menit yang lalu sebelum mas Abhim mengajakku untuk makan di angkringan yang berada tepat dibawah pohon beringin.
“Ini udah pergantian jam buat jaga. Sekarang giliran teman saya yang jaga,” ujarnya sekaligus menjelaskan.
Akhirnya aku bangun dari duduk, berniat mengikuti mas Abhim yang hendak berjalan terlebih dahulu. “eh, tapi-”
Mas Abhim menoleh ke belakang, menghadapku dengan sorot mata bertanya. “kenapa?”
“Foto di pameran dulu boleh?” sontak saja dirinya terbahak. Kemudian mengangguk, “boleh. Nanti saya fotokan.”
°°°
Pukul empat sore, motor vespa bermodel Sprint 150 I-Get ABS milik mas Abhim melaju melalui jalan dengan persawahan yang melintang di sisi jalan. Angin berhembus dengan sejuk, membuatku mulai memejam untuk beberapa saat untuk menikmati hembusannya yang damai. Cuaca sore ini bagus, tidak ada lagi mentari yang menyingsing membuat panas ataupun hujan yang mendera. Kupikir, alam saat ini sedang bahagia—sama halnya sepertiku kala ini.
Di bonceng mas Abhim dengan kecepatan tak begitu laju namun juga tak lambat, aku dapat menikmati cuaca sore hari ini dengan khidmat. Kami berada di jalan Bibis, arah ke goa Selarong. Mas Abhim menghentikan motornya di sisi jalan—tepat di depan warung pinggiran dengan spanduk bertuliskan 'es tape ketan'. Warung-warung itu berderet di sisi jalan, menjual beragam es seperti es tape, kelapa muda, dan ada pula dawet.
Mas Abhim berjalan terlebih dulu untuk memesan, meninggalkanku yang masih mengamati keadaan sekitar dengan posisi masih terduduk di atas jok motornya. Buru-buru kulepas helm yang—entah bagaimana bisa mas Abhim membawanya dan meminjamkannya padaku—padahal ia tadi menjemputku di rumah, dan di rumahku jelas saja ada helm milikku sendiri. Aku berjalan dan duduk di sampingnya yang tengah menikmati pandangan menuju persawahan serta pegunungan yang tersaji di hadapan mata. Hanya satu kata yang berulang kali berhasil bergema di kepala, yaitu damai.
Tak lama, penjual dengan balutan kaos berwarna abu kusam itu berjalan kearah kami sembari membawa dua gelas es tape. “monggo,” ujarnya seraya meletakkan dua gelas es itu di hadapan kami.
“Matur nuwun, Pak,” jawab mas Abhim ramah.
Terlihat sangat segar es tape dihadapanku, namun jauh lebih menyegarkan kala aku mendengar lelaki berpipi bolong di sampingku berujar ramah. Astaga, seorang Jafier Ananta Abhimanyu, bagaimana bisa karaktermu sebegitu memabukkan bagi Sasmita.
“Mit?” aku mengerjap berulang kali. Kulihat mas Abhim menatapku dengan senyum jumawanya. Kemudian mulai menyodorkan es di hadapanku.
“Nih, di minum. Segar, apalagi sambil lihat alam,” ujarnya mempersilahkan.
Aku mengangguk dan mulai menyeruput minuman segar di hadapanku. Namun tak ayal, pikiranku kembali berputar—berulang kali mengatakan bahwa—pesona mas Abhim jauh lebih menyegarkan ketimbang sebuah gelas berisi es serta air dan tape ketan. Astaga, lagi-lagi pikiranku kesana. Namun bagaimana pun, mas Abhim benar-benar se-mengesankan itu hari ini.
“Mas, terima kasih banyak ya sudah ajak Sasmita kesini,” ujarku tulus dengan menatap kearah gunung yang terlihat dari tempat dimana kami duduk.
Aku dapat melihatnya menoleh menghadapku, “kamu suka?” sontak saja sebuah anggukan berhasil kuberikan tanpa jeda yang panjang.
“Lain kali saya ajak lagi mau? Saya sering keluar sekedar merehatkan pikiran,” ujarnya dengan tenang. Matanya mengawang kearah yang sama seperti yang kulihat.
Entah kenapa, walau kalimatnya begitu menenangkan, sorot matanya tak bisa berbohong akan sebuah rasa kesedihan. Entah apa itu, aku terlalu sungkan untuk bertanya, dan juga, terlalu takut kalau saja apa yang kupikirkan salah. Saat itu yang kulakukan hanya mengangguk dengan binar mata sumringah. Dan menatap sorot mata sendunya yang kelamaan hilang dan tak kentara. Ia tersenyum sama sumringahnya denganku kala melihat anggukan kepalaku.
°°°
Bersambung...
Jadi sebenernya di awal tadi, terinspirasi dari kisah nyata, tapi di haluskan :')
Btw iya, aku sepede itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GATA ABHIMANYU ✓
Fanfiction[COMPLETED DAN BELUM REVISI] "Kenapa nama-mu Abhimanyu? Seperti tokoh pewayangan saja." itulah kalimat yang berulang kali kutanyakan padanya kala raganya masih dapat kurengkuh erat. Ia selalu menggeleng, "saya gak tahu. Akan saya beri tahu kalau say...