17. Musim hujan bulan ini

112 28 19
                                    

°°°

Sore itu kulewati dengan perasaan senang yang membuncah. Hanya karena sebuah ajakan tiba-tiba dari seorang Jafier Ananta Abhimanyu, dan yang tak terduganya ia justru mengajakku menikmati sore di bawah jembatan Lempuyangan.

Seorang Abhimanyu, memang semudah itu membuatku jatuh hati.

“Pulang yuk,” ajaknya kala langit sore sudah terganti menjadi gumpalan awan kelabu.

Sedikit berat, rasanya enggan meninggalkan tempat ini. Padahal sedari tadi diriku hanya diam terduduk sembari berceloteh ngalor ngidul dengan mas Abhim. Sesekali mengucapkan hal random yang tersimpan di kepala saat beberapa kereta dengan gerbong berhenti di hadapan kami.

“Kamu lihat ibu-ibu yang melamun melihat kearah kita itu?”

“Yang pakai kerudung biru itu? Kenapa?”

“Dia pasti habis muntah.”

“Kok tahu?”

“Soalnya sekarang dia melamun.”

“Apa korelasinya?”

“Nggak ada, cuma pemikiran saya saja.”

Entah kenapa, dengan sepatah kalimat itu pun aku bisa tertawa lepas. Padahal kutahu pasti, sebetulnya guyonan seorang Abhimanyu sangatlah payah.

“Ayo, udah mendung. Nanti kehujanan.” ajaknya lagi, membuyarkan lamunanku atas pembicaraan ramdomnya beberapa saat yang lalu. Dirinya sudah berdiri—bersiap untuk kembali ke tempat dimana motornya terparkir dan berakhir berjalan mendahului.

Aku mengikutinya di belakang, “sayang banget, padahal seru.” namun ia bergeming dan tetap melanjutkan langkahnya.

Sesampainya di tempat parkir, ia segera memakai helmnya dan dengan cepat berbalik kearahku yang masih berjalan dengan enggan.

Dengan cepat ia memasangkan helm serta kaitannya padaku. “kelamaan.” sebalnya yang entah kenapa terlihat lucu di mataku—seperti anak kecil yang mengomel.

Aku berusaha menahan rasa sebal karena ajakannya untuk pulang dengan tiba-tiba.

Namun baru beberapa meter motor kami melaju, ban belakang terasa sedikit oleng. Membuatku dengan erat memegang saku hoodie-nya, “eh ini kenapa? Kok gleyat-gleyot?

Sedetik berikutnya, mas Abhim menepikan motornya di pinggir jalan. Kemudian mulai turun dan mengecek ban bagian belakang.

Aku ikut turun, dirinya memeriksa dengan cara menyentuh ban itu. Membuat tangannya sedikit kotor.

“Bocor, Mit,” ujarnya dengan raut bersalah.

“Kamu naik ojol aja ya. Saya pesankan,” lanjutnya seraya bersiap mengambil ponsel yang tersaku di celana jeansnya.

Buru-buru kuhentikan gerakan lengannya, “eh, jangan. Ayo kita cari tambal ban bareng,”

“Kan kita berangkat bareng, pulang juga harus bareng.” kuberikan senyuman paling apik yang kupunya.

“Nanti Wira marahin saya.” jujurnya.

Aku menggeleng, “nggak akan. Nanti biar Sasmita yang bilang.”

°°°

15 menit yang lalu kami telah berjalan untuk mencari tambal ban terdekat. Beruntungnya saat ini kami telah duduk sembari menunggu ban itu di poles dengan api dan di tambal. Hal itu membuatku menguap, merasa bosan menunggunya.

Sedang hujan di luar sana semakin deras menitikkan air. Bajuku sudah basah sebagian, terciprat rintikan yang memantul dari jalanan trotoar. Tak sadar, aku mengusap lengan, membuat mas Abhim menoleh dengan segera. Sedetik kemudian ia kembali mengalihkan pandang ke sekitarnya.

GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang