01. Perihal es teh

711 105 56
                                    

°°°

Yogyakarta di hari Minggu pukul 12 siang merupakan waktu yang tepat jika kalian ingin menikmati keindahan kota ini—atau lebih tepatnya menikmati teriknya mentari—bukan hanya mentari, kepadatan dan hiruk pikuk segomblok manusia pun turut mendukung suasana panas nan pengap.

Tidak ada bosannya untuk jajan es rasanya. Untuk yang ketiga kalinya, aku keluar dari wilayah Taman Budaya—letaknya di sebelah Taman Pintar Jogja—sebelah Selatan Pasar Beringharjo.

Seperti hari Minggu biasanya, aku selalu datang ke tempat yang biasanya digunakan saat ada pementasan teater ini. Sebenarnya aku sama sekali tak berkepentingan untuk datang kemari, namun Gianti—atau boleh dipanggil Jian agar terlihat keren—memintaku untuk menemaninya.

Ah, anak menyebalkan ini.

Padahal aku tak mengikuti ekstrakurikuler teater. Tetapi dengan senang hati aku iyakan ajakannya ke tempat ini.

Lumayan, untuk sekedar cuci mata—karena banyak sekali lelaki yang datang kesini—khususnya anak kuliah. Entah tepatnya untuk apa, yang aku tahu sih, sebagai penilaian akhir sebelum lulus—khususnya jurusan seni.

Aku tengadahkan kepala ke atas. Melihat betapa teriknya mentari siang ini, membuatku mempercepat langkah. Aku berjalan ke Selatan dari pintu gerbang Taman Budaya, hendak menuju sebuah angkringan yang tepat berada di depan toko buku.

Memang sih, di angkringan pembelinya rata-rata laki-laki, tapi tak masalah karena aku mencari minuman yang ramah di kantong—apalagi aku masih anak SMK—belum punya penghasilan sendiri pastinya. Kesini saja tidak diberi uang jajan sama ibu.

“Pak, es teh bungkus 1 ya.” pesanku kepada Sang pemilik angkringan.

Beliau mengangguk sembari berujar 'sekedap' tanpa suara.

Namun kala Bapak itu baru saja menuang air panas ke gelas, seorang lelaki menyela aktivitasnya. Bukan hanya aktivitas Bapak itu saja sebetulnya, lelaki itu juga menyela minumanku yang harusnya dibuat duluan oleh Si Bapak.

“Pak, saged mboten kula rumiyin, unjukan e?”

(Pak, bisa tidak kalau saya duluan minumannya?)

Sepertinya Bapak itu sama bingungnya denganku. Beliau mengerjapkan matanya sekejap, kemudian mulai bertanya.

“Pripun maksude, Mas?”

(Gimana maksudnya, mas?)

Melihat seluruh mata di angkringan menatapnya, lelaki itu tersenyum kaku. Ia beberapa kali mengusap lehernya.

“Anu, boleh saya duluan yang dibikinkan es teh? Buru-buru soalnya.” kentara sekali dirinya kikuk.

Bukannya menjawab, Bapak itu justru menatapku—seakan memberikan sebuah kode agar aku yang seharusnya menjawab.

Beliau terus saja melirikku dengan tangan yang cekatan mengaduk air teh bercampur gula pasir.

Akhirnya, mau tak mau kujawab juga, “yaudah, Pak, gak apa-apa masnya duluan. Saya masih bisa nunggu kok.”

Aku tak melirik lelaki itu barang sekilas. Namun yang kulihat dari sudut mataku, lelaki itu menarik ujung bibirnya hingga lesung pipinya kentara.

Saat teh panas itu di tuang dalam plastik bening berisi es batu, tangan lelaki itu maju untuk mengambil sedotan yang tersimpan tepat di depanku.

Ia mengambil alih se-plastik es teh dari Si Bapak, kemudian mengulurkan lembaran uang dua ribu rupiah. Kemudian berterimakasih dan membuatku sontak saja menoleh kearahnya.

“Makasih Pak, Mbak.”

Aku tahu sebutan 'Mbak' itu untukku. Jadi aku langsung menoleh kepadanya dan menggumamkan kata 'iya' lirih. Namun sayang sekali, sepertinya dirinya tak mendengar karena sudah lebih dulu berjalan cepat ke arah Taman Budaya.

Netraku terus saja menatapnya asing. Aku belum melihat rupanya, aku juga belum sempat bertanya namanya. Namun, aku mengingat jelas pakaiannya. Dengan setelan kaos polos berwarna hitam dan celana jeans belel yang robek di bagian lutut. Serta membawa totebag dengan desain yang baru saja kulihat—ciri khas anak seni sekali.

Entahlah, pokoknya setelah es tehku siap di buat, aku harus bertanya kepada Jian siapa lelaki itu. Barangkali dia tahu, karena Jian lebih sering berkunjung ke Taman Budaya ketimbang diriku.

°°°

Hai, setelah Selaksa Aditama yang latar tempatnya di Bandung, kali ini aku buat cerita lagi dengan latar Jogja, hihi.

Kali ini pake sudut pandang orang pertama, semoga aja tetep kerasa alurnya :(

Perkenalkan, mas-mas yang nyerobot antrian di angkringan.

Jaehyun as Jafier Ananta Abhimanyu

Jaehyun as Jafier Ananta Abhimanyu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang