23. Rasa dan Karsa

87 23 14
                                    

°°°

“Nanti bakal lewat jalan Suroto kan?” suaraku mengabur diterpa angin. Kedua tanganku masuk pada kantung jaket mas Abhim yang sedikit tebal. Jangan berburuk sangka ya—aku hanya kedinginan.

Aku melihat lelaki itu menoleh kearah spionnya, “kenapa, Mit?”

“Nanti berhenti sebentar di cafe yang di sebelah Gramedia Sudirman dong. Aku mau beli cake tiramisu.” mas Abhim hanya mengangguk mengiyakan.

Hanya aku yang turun untuk membeli, sedang mas Abhim masih berada di motornya. Tak cukup sampai disitu, kami juga mampir ke minimarket untuk membeli beberapa makanan ringan dan minuman bersoda.

Hari ini temanya piknik. Memang sih, mas Abhim tidak mengatakannya secara langsung kepadaku. Namun, apa yang akan kami lakukan di taman selain piknik? Maka dari itu, aku mempersiapkan bekal untuk di makan.

Kami sampai tepat pukul dua siang. Cuaca akan cukup panas jika kami berada tepat di pusat kota Jogja, namun kala ini kami berada di puncak—tentu saja udaranya cukup dingin. Dan pula, hari ini lagi-lagi mendung.

Setelah memarkir motor, kami masuk kedalam taman. Mulai mencari lahan di bawah pohon cemara yang rindang untuk menggelar tikar. Kemudian menghamburkan seluruh barang bawaan ke atasnya.

Tanganku mulai teralih untuk mencomot cake tiramisu yang barusan kubeli. Kali ini, mas Abhim harus mencobanya.

Aku tahu betul ia tak suka akan rasa manis. Tetapi cake ini kesukaanku, akan menyesal kalau seorang Abhimanyu belum mencicipinya barangkali sekali seumur hidup.

“Mas-”

“Mit-”

Suara kami keluar berbarengan. Hal itu tentu saja membuat kami sama-sama terdiam. Menelan kata yang baru saja hendak terlontar.

“Kamu mau ngomong apa?” tanyanya kepadaku. Alisnya naik, memberikan kesan ia benar-benar merasa ingin tahu.

Kembali kuputar kalimatnya barusan, “memang mas Abhim mau ngomong apa?”

Ia menunduk untuk melihat biji pohon cemara yang terjatuh tepat di kakinya. Tanpa beralih menatapku, ia mengelus lehernya dengan pelan. Kentara sekali rasa bingung sedang menghinggapinya. “Saya—mau ngomong serius,”

“Apa itu?” rasa penasaranku kembali muncul.

Namun kali ini ia kembali menatap mataku, “coba bilang dulu, kamu tadi mau ngomong apa?”

Sepertinya kalau aku berterus terang dan menyuruhnya memakan tiramisu—lelaki yang duduk dihadapanku ini bakal menolaknya secara mentah-mentah. Kemudian ia tak jadi menyampaikan hal yang katanya serius tadi.

Maka dari itu, “harus makan ini dulu, habis itu baru aku kasih tahu.”

Kulihat dirinya meneguk ludah dengan cepat, “harus banget ya?” tanyanya.

Aku mengangguk penuh antusiasme. Seakan seorang Abhimanyu yang berhasil memakan sesuap cake tiramisu adalah harta karun.

“Apa gak ada makanan yang lain?” ia bertanya lagi. Pandangannya naik turun menatap cake yang ada di tanganku dan sesekali melirikku dengan gusar.

Aku menggeleng, “sebagai maniak rasa manis, pendapatku, mas Abhim harus coba cake ini—paling tidak, sekali dalam seumur hidup.”

“Kamu gak lagi curangin saya kan? Saya bisa makan apa pun, kecuali yang manis seperti ini.” lagi, dirinya meragu. Padahal hanya sesepele menggigit cake tiramisu, kenapa berlebihan sekali.

Aku kembali memantapkannya beberapa kali. Hingga akhirnya dirinya mengiyakan keinginanku. Mas Abhim menggigit kue manis itu dengan pelan. Namun kala menelannya, ia tersedak hingga terbatuk. Mungkin saking manisnya kue itu.

Kusodorkan cola yang penutupnya sudah setengah terbuka kepadanya. Ia menggeleng dan melambaikan kelima jemarinya di depan dada, berusaha mengatakan tidak tanpa lisan karena dirinya masih terbatuk. Namun dengan segera aku menyodorkan ujung botol cola itu pada bibirnya. Bagaimana pun, orang tersedak harus di tolong bukan?

Selang semenit setelahnya, lelaki itu bernapas panjang. “jadi, sebetulnya kamu mau ngomong apa?” tanyanya kemudian.

Aku lantas terbahak, “sebetulnya cuman mau mas Abhim makan cake-nya, gak mau ngomong apa-apa.”

Ia mendengus, kelihatan tak senang mendengarnya. “Kamu hampir bikin saya mati sia-sia, Mit.”

Aku kembali terbahak mendengarnya. Hanya perkara cake tiramisu dan cola, lelaki itu berpikir bahwa dirinya bisa saja mati sia-sia. Namun tawaku berhenti tatkala wajahnya bermuram durja. Ia benar-benar kelihatan tak senang akan guyonanku. Setidak suka itukah Abhimanyu dengan rasa manis?

“Maaf.” tuturku akhirnya.

Ia tak membalasku barang sekilas, namun aku kembali mengajaknya bicara, “tadi mau bilang apa?”

“Gak jadi. Nanti saja.” baiklah, sepertinya saat ini lelaki berpipi bolong itu benar-benar di mode ngambek.

“Kalau gitu, boleh Sasmita minta tolong?” anak itu kembali menatapku setelah sekian menit hanya terfokus menatap tanah di sekitar kami. Ia tak menjawabku, namun sorot matanya menyiratkan kata tanya.

“Nyanyiin lagu boleh? Tadi aku sempat dengar mas Abhim nyanyi sama ayah. Mita suka suara mas Abhim.” kembali wajahnya sumringah. Kali ini wajah yang tadinya muram kembali terlihat berwarna seperti sebelumnya.

Ia tersenyum jumawa sembari menaikkan dagunya, “kamu memuji atau menghina?”

“Memangnya yang tadi itu kelihatan seperti kalimat hinaan??” tanyaku bersungut karena sebal.

Namun lelaki di hadapanku justru terkekeh ringan, kemudian mulai menyenandungkan sebuah nada yang terdengar amat indah di telingaku.

Nothing's gonna change my love for you
You oughta know by now how much I love you
One thing you can be sure of
I'll never ask for more than your love

Ia berhenti. Benar-benar hanya sebait. Dan aku melenguh sebal. Kalau di jawa sih, disebutnya nanggung. Sudah kepalang senang mendengar lantunannya, namun hanya secuil saja. Alias suaranya benar-benar nagih dan sebait itu jelas sangat kurang bagiku.

“Kenapa?” tanyanya disertai kekehan ringan.

“Apa-apaan sih!” sebalku.

Kali ini ia tak lagi terkekeh, namun menatapku tepat di mata. “Padahal itu perasaan saya ke Sasmita. Tapi kamu malah sebal ya dengarnya?”

Eh maksudnya bagaimana?

°°°

Bersambung...

Dengerin mulmed yaa

GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang