25. Peruntungan kegagalan

109 24 21
                                    

°°°

Malamnya, setelah seharian penuh bergelut dengan tanah lempung, kami memutuskan untuk pulang. Mas Abhim mengantarku, melewati Madukismo dengan pemandangan sawah berisikan tanaman tebu dan pabrik gula di sisi kanan.

"Uh, baunya asem! Kamu belum mandi kan?" Aku mendekatkan diri, membuat bisikan tepat di telinganya yang tertutup helm.

"Sembarangan! Itu bau dari pabrik tahu!" Kemudian kami mulai terkekeh bersama.

Mas Abhim boleh tak menyukai rasa manis, namun, jika kekasihnya menyukainya, ia akan senang hati memakan makanan itu. Seperti saat ini, kami mampir di kedai kue balok.

Sepanjang perjalanan kami memakan kue itu, sembari bercerita ngalor-ngidul tentang apa pun. Abhimanyu selalu seperti itu, apa pun topik yang ku katakan padanya, anak itu selalu menanggapinya dengan menyenangkan. Tentu saja, anak itu memang lelaki supel yang mudah membuat siapa saja jatuh hati akan pesonanya, entah tentang pembawaannya saat berujar atau tentang parasnya yang rupawan.

Di malam yang sebetulnya belum terlalu malam, kami mampir lewat alun-alun. Hanya untuk membeli beberapa gorengan yang disukai anak-anak. Tempura, kaki naga dan apapun semacam itu.

Lantas kami duduk lesehan dengan hidangan kecil itu di sana, menatap keramaian yang ada. Kala di antara kami senyap, menyisakan teriakan riang di jalanan dengan sepeda warna-warni yang lewat, mas Abhim sempat berkata, katanya dia mau mencoba peruntungan.

"Apa itu?" Aku bertanya kala tak mengerti ke mana arah pembicaraannya.

"Saya mau mencoba seperti itu," ia menunjuk beberapa orang yang berjalan menuju dua pohon beringin kembar dengan mata tertutup kain hitam.

Mitosnya, kalau kau bisa mencapai pohon kembar itu dengan mata tertutup, harapan yang kau pinta akan terkabul.

Aku menatapnya heran, "memangnya mau buat harapan apa?"

Lelaki itu mengangkat kedua bahunya, "rahasia." Jawabnya.

Lama aku menunggunya yang tak kian dapat menggapai pohon beringin kembar itu. Namun setelahnya, ia berjalan kepadaku dengan mata yang sudah tak tertutup kain hitam.

"Saya gak bisa, Mit. Mungkin lain kali," ujarnya dengan masam.

Lantas lelaki itu berlalu, mengembalikan kain hitam yang sebelumnya ia sewa.

"Ayo pulang," ajaknya yang tak lagi bersemangat.

Dan aku tahu malam itu bahwasanya harapannya hanya satu dan sesulit itu untuk mengabulkannya.

Tolong beri waktu lebih lama bersama Sasmita.

°°°

Kami sampai di depan pagar rumahku. Mas Abhim mengantarku hingga sampai, namun matanya masih terlihat muram. Entah kenapa, perasaan getir menghinggapiku. Rasanya aku tak rela untuk ditinggal pergi lelaki itu. Padahal Abhimanyu hanya akan pulang ke rumah, dan besok, lusa atau kapanpun kami masih dapat bertemu kembali. Namun aku tetap berat hati, sesulit itu melepaskannya pergi.

"Sana masuk ke dalam, saya mau pulang," Ujarnya sembari mengelus suraiku yang sudah tak tertutup helm.

"Masuk dulu yuk, mampir ke rumah aku bikinkan teh hangat."

Anak itu menggeleng, "nggak dulu deh, sudah malam. Besok aja ya?"

Aku menghela napas, tak begitu senang dengan jawabannya. Terlebih sedikit kecewa bahwa anak itu akan langsung pulang.

Lantas Abhimanyu terkekeh, tangannya turun ke pipiku--menepuknya dengan pelan. Aku melirik matanya yang redup tanpa paparan sinar lampu jalan.

"Aku masih kangen," aku mengucapnya dengan merengut.

Lantas lelaki itu mulai menurunkan standar motornya. Membuka helmnya dan kemudian berdiri tepat di depanku. Mengikis jarak di antara kami. Napasnya terasa panas di leherku. Kemudian dengan kami yang sama-sama dapat mendengar debaran jantung di dalam sama, Abhimanyu kembali mengikis jarak kami, mulai memagut dengan lembut.

Dan malam itu berakhir, berganti menjadi hari esok yang tak pernah kuharapkan sama sekali.

°°°

Pagi-pagi sekali, rumahku sudah ramai. Aku terbangun kala mendengar suara bang Wira yang meraung di lantai bawah. Lantas aku keluar kamar dan menyusulnya. Sekilas aku melihat jam yang berada di dekat anak tangga. Ini pukul tiga pagi. Masih dini hari dan apa gerangan yang membuat bang Wira teriak-teriak seperti itu.

Mulanya, aku mengira bahwa abangku kesurupan hingga bapak dan mas Dhanan membantu memeganginya yang berusaha berontak. Namun saat melihat kunci motor dan jaket yang berada di genggamannya, pikiranku jelas salah.

Lebih janggal lagi, ketika aku mendapatinya meneteskan air mata. Keadaan rumahku kacau bukan main, bang Wira terus berontak. Mengarahkan dirinya ke pintu dengan sulit karena badannya di pegangi bapak dan mas Dhanan.

Anak itu masih meraung dan meracau, sampai ketika pandangannya teralih padaku yang menatapnya dengan bingung dan takut.

Namun tak seperti dugaanku, bang Wira justru terduduk tepat di hadapanku yang masih berdiri. Lelaki itu menggenggam kedua kakiku. Posisinya saat ini macam memohon ampun, aku tak tega hingga melihatnya yang biasanya blangsak berubah seperti itu. Lantas aku berjongkok, mulai bertanya padanya.

"Abang kenapa?" Suaraku bergetar, hampir menangis sebab baru melihatnya serapuh ini.

Bang Wira berderai air mata, ia menjawab dengan pandangan kosong dan tidak nyambung, "tolong, Mit. Abang harus keluar sekarang,"

"Iya, tapi kenapa? Abang mau kemana?"

Entah kenapa aku tak siap dengan jawaban selanjutnya. Jantungku berdebar ketakutan akan jawaban lelaki berstatus kakakku itu.

Sejenak, kupikir bang Wira akan berhenti menangis dan menjelaskan hal genting yang sedang terjadi kala ini. Namun yang kulihat hanya dirinya yang semakin meraung. Anak itu menutup wajahnya dengan telapak tangan, mendekam suara tangisannya agar tak terlalu keras.

Namun dengan lirih ia berujar kata-kata yang membuat semesta serasa diambrukkan.

"Jepri meninggal." Lirihnya dengan suara bergetar.

Lantas, semuanya berputar dan aku tak lagi dapat merasakan pijakan di ubin lantai rumah.

°°°

Aku baru tersadar bagaimana aku tak bisa melepaskannya hanya untuk pulang kemarin malam. Nyatanya memang benar, Abhimanyu bukannya pulang ke rumah, namun ke sisi-Nya.

Jafier Ananta Abhimanyu, dinyatakan meninggal dunia pukul 3 pagi. Dengan penyebab gagal ginjal akut yang tak bisa tertolong.

Aku menyesalinya. Menyesal akan semua kebodohan yang kubuat. Anak itu bukan sekedar tak suka rasa manis, namun dilarang memakannya karena dapat menimbulkan tekanan darahnya naik dan gagal ginjalnya kian memburuk.

Juga, sewaktu Abhimanyu sakit dan bang Wira bilang, anak itu habis kontrol. Itu bukan sekedar kontrol biasa, Abhimanyu cuci darah. Dan hal itu cukup membuat darahku berdesir. Dadaku sesak dan hidungku perih sebab menangisinya.

Kini aku tahu, bagaimana adiknya-Ezekiel Batradikara Kreshna yang menatapku penuh sengit dan nyalang.

Kalau kamu dekati mas Jafie karena rasa kasihan, mending kamu menjauh saja. Kondisi mas Jafie gak se-memprihatinkan itu sampai harus kamu kasihani.

Kini aku mengerti apa maksud anak itu.

°°°


Bentar lagi end sabar...

GATA ABHIMANYU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang